KATADATA - Proses produksi minyak seakan tidak terganggu oleh rendahnya harga minyak dunia. Buktinya, sejak awal tahun hingga pekan ketiga Februari ini, jumlah produksi siap jual (lifting) minyak sudah hampir mencapai target dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016.
Deputi Pengendalian Operasi SKK Migas Muliawan mengatakan, lifting minyak hingga 18 Februari ini sudah mencapai 827 ribu barel per hari (bph) atau hampir mencapai target lifting dalam APBN 2016 sebesar 830 ribu bph. Jumlah tersebut juga hampir sama dengan target dalam rencana kerja anggaran dan pendapatan atau Work Plan and Budget (WP&B) semua kontraktor kontrak kerjasama (KKKS) yang dilaporkan kepada SKK Migas. Yaitu sebesar 827.780 bph.
(Baca: Meleset Lagi, 11 Tahun Target Lifting Tidak Tercapai)
Target lifting dalam WP&B memang tidak sama dengan APBN 2016. Pasalnya, harga minyak dunia saat ini masih rendah sehingga banyak kontraktor migas yang mengurangi kegiatannya.
Menurut Muliawan, ada beberapa kontraktor migas yang produksinya telah melampaui target. Salah satunya adalah PT Chevron Pacific Indonesia di Rokan, Provinsi Riau. "Saya lupa angka persisnya," katanya kepada Katadata di Jakarta, Jumat (19/2). Yang jelas, produksi dari lapangan yang berada di Provinsi Riau itu dalam APBN 2016 ditargetkan sebesar 247.950 bph. Blok ini memang menjadi salah satu andalan pemerintah untuk mendukung target lifting tahun ini.
Selain Chevron, dia mengatakan, kinerja ExxonMobil Cepu Limited di Blok Cepu juga terus meningkat. Hingga 18 Februari lalu, lifting minyak di blok itu sebanyak 150 ribu bph. Adapun target lifting perusahaan migas asal Amerika Serikat ini dalam APBN 2016 sebesar 161.120 bph. Sementara target puncak produksi Blok Cepu sebesar 165 ribu bph.
Mengacu pencapaian tersebut, Muliawan menilai pemerintah tidak perlu memperpanjang dua fasilitas di Blok Cepu yakni fasilitas produksi awal (Early Production Facility/EPF) dan pengembangan awal (Early Oil Expansion/EOE). Kedua fasilitas tersebut bisa menambah produksi hingga 40 ribu bph. Meski perpanjangan dua fasilitas itu dapat menggenjot produksi, dia khawatir akan merusak cadangan yang ada di Blok Cepu.
(Baca: ESDM Minta Kontrak Penjualan Minyak Blok Cepu ke Swasta Diperpanjang)
Harga minyak yang rendah memang sempat menimbulkan kekhawatiran akan mengganggu target lifting. Selama 11 tahun terakhir, realisasi lifting minyak memang tidak pernah mencapai target. Bahkan terus menurun dari 1 juta barel di 2004.
Sepanjang 2015, lifting minyak hanya mencapai 777.560 bph. Salah satu penyebab target tersebut tidak tercapai adalah seretnya produksi di Blok Cepu. Pangkal soalnya adalah aksi unjuk rasa pekerja yang berakhir kisruh pada Agustus tahun lalu yang mengganggu produksi Lapangan Banyu Urip, Blok Cepu, yang dikelola ExxonMobil Cepu Limited. Produksi hingga akhir tahun yang ditargetkan bisa lebih dari 100 ribu bph pun hanya dapat terealisasi sebesar 80 ribu bph.
(Baca: Anjloknya Harga Minyak Mengancam Target Lifting)
Selain Banyu Urip, ada beberapa proyek blok migas lain yang mundur dari jadwal. Antara lain Lapangan Ridho yang dikelola oleh PT Odira Karang Agung, Lapangan TBA yang dikelola JOB PetroChina Salawati, Lapangan Bukit Tua yang dikelola Petronas Ketapang, Lapangan Kepodang yang dikelola Petronas Muriah, dan Lapangan Bayan yang dikelola MKI. Ada juga pengaruh penurunan produksi dari sumur milik Pertamina EP dan masalah keekonomian lapangan EMP Tonga dan EMP Gebang. Faktor lain adalah berhentinya kegiatan produksi yang tidak direncanakan (unplanned shutdown) dan faktor global yakni penurunan harga minyak.
Lifting migas yang meleset turut memukul penerimaan negara pada tahun lalu. Sepanjang 2015, negara hanya mendapat Rp 177,47 triliun atau sekitar 85 persen dari target penerimaan migas dalam APBN-P 2015.