PHK Sejak Awal Tahun 1.564 Pekerja, Terbanyak Sektor Perdagangan

Katadata
Para pekerja di sebuah pabrik otomotif (Arief Kamaludin | KATADATA)
Penulis: Yura Syahrul
18/2/2016, 12.23 WIB

KATADATA - Fenomena pemutusan hubungan kerja (PHK) massal yang terjadi sejak 2015 diperkirakan masih terus berlanjut di tahun ini. Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) mencatat sejak awal 2016 hingga 17 Februari lalu telah terjadi 1.564 kasus PHK yang dilakukan beberapa perusahaan. Kasus PHK terbanyak terjadi di DKI Jakarta, sedangkan berdasarkan sektor usaha menimpa para pekerja di sektor perdagangan, jasa dan investasi.

Secara rinci, Kemenaker mencatat, sebanyak 1.047 orang pekerja di Jakarta mengalami pemutusan hubungan kerja. Disusul oleh Provinsi Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, dan Kota Pekanbaru masing-masing sebanyak 191 orang, 138 orang, dan 108 orang. Selain itu, kasus PHK menimpa puluhan orang di masing-masing provinsi dan kota, yaitu Jawa Tengah, Lampung, Sulawesi Tengah, Kota Bandung, dan Kota Padang.

"Sejauh ini perusahaan yang melakukan wajib lapor (PHK) itu angkanya," kata Kepala Sub Direktorat Pencegahan Perselisihan Hubungan Industrial Kementerian Ketenagakerjaan Reytman Aruan di Jakarta, Rabu malam (17/2). Artinya, tidak menutup kemungkinan jumlah PHK lebih besar dari data yang dicatat oleh Kemenaker tersebut.

(Baca: Gelombang PHK yang Mulai Mengintai Industri Padat Modal)

Sementara itu, sektor usaha yang paling banyak melakukan PHK pada awal tahun ini adalah sektor perdagangan, jasa, dan investasi berjumlah 691 orang. Yang terbanyak di Jakarta, yaitu 535 orang. Hal ini bisa dimaklumi karena aktivitas perdagangan cenderung menurun seiring perlambatan ekonomi sejak tahun lalu. Aktivitas ekspor dan impor terus melorot sementara daya beli dan konsumsi masyarakat juga menurun.

(Baca: Chevron PHK Ribuan Karyawan di Indonesia)

Kedua, sektor aneka industri dan industri dasar kimia sebanyak 249 orang. Ketiga, sektor pertambangan sebanyak 231 orang, yang mayoritas di Sulawesi Selatan berjumlah 116 orang. Kasus PHK juga menimpa ratusan pekerja di sektor pendidikan dan infrastruktur serta puluhan pekerja di masing-masing sektor pertanian dan jasa keuangan.

Reytman mengatakan, terjadinya PHK bukan semata diakibatkan oleh kondisi ekonomi yang melambat. Ada juga beberapa alasan lain sehingga perusahaan melakukan PHK terhadap para pekerjanya, seperti pelanggaran aturan oleh pekerja, pengunduran diri, hingga perusahaan tidak membayar gaji pegawai hingga dua tahun. "Total ada 25 faktor alasan, tidak seluruhnya akibat ekonomi melambat.”

(Baca: Isu PHK, Panasonic Akui 425 Karyawan Terdampak Restrukturisasi)

Di sisi lain, dia membantah klaim serikat buruh yang menyebut jumlah PHK yang terjadi pada awal tahun ini sudah mencapai 3.000 orang pekerja. Adapun, sepanjang tahun lalu, dia mengakui jumlah PHK mencapai puluhan ribu orang. Yang terbanyak menimpa para pekerrja di sektor padat karya lantaran paling terpukul oleh perlambatan ekonomi. "Untuk tahun lalu kami mencatat ada 48.843 pegawai yang mengalami PHK," kata Reytman.

Kemenaker sebenarnya telah melakukan berbagai upaya untuk menekan jumlah PHK. Salah satu caranya adalah memberikan saran dan konsultasi kepada perusahaan agar melakukan efisiensi operasional. Selain itu, berupaya mengalihkan para pekerja bernasib naas itu ke proyek infrastruktur yang menyerap banyak tenaga kerja.

Kalaupun PHK tak terhindarkan, Kemenaker berharap perusahaan melakukannya berdasarkan ketentuan yang diwajibkan. "Itu terkait pemberian pesangon kepada pekerja. Hal ini penting karena menyangkut modal dan biaya pekerja yang terkena PHK," katanya.

(Baca: Pemerintah Siapkan Insentif Cegah Gelombang PHK)

Di tempat yang sama, Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat mengatakan PHK massal ini merupakan siklus yang pasti akan dilalui seiring mulai kembali tumbuhnya perkenomian. Namun, dia berharap pemerintah lebih serius menjalankan seluruh paket kebijakan ekonomi yang telah dirilis sejak September tahun lalu. Dengan begitu, ekonomi bisa kembali menggeliat dan jumlah PHK tidak semakin bertambah. "Reward and punishment bagi eksekutor paket kebijakan juga perlu ada," ujarnya.

Reporter: Ameidyo Daud Nasution