KATADATA - Meski sudah dijanjikan sejak lama, pemerintah belum juga merilis insentif kepada kontraktor minyak dan gas bumi (migas). Padahal, para kontraktor sangat menanti adanya insentif tersebut di tengah tren rendahnya harga minyak dunia. Jika masih berlarut-larut, tak cuma pemutusan hubungan kerja (PHK) yang kian mewabah, produksi migas nasional pun bakal terancam.
Kepala Bagian Humas Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Elan Biantoro mengibaratkan kondisi kontraktor migas saat ini seperti orang sakit. Dengan harga minyak dunia yang mondar-mandir di level US$ 30 per barel, beberapa kontraktor harus mendapatkan infus untuk memulihkan kondisinya. “Infusnya itu harus ada kebijakan strategis oleh pemerintah. Jika kebijakan tidak dikeluarkan mereka bisa jadi menghentikan produksi,” kata dia kepada Katadata, Kamis pekan lalu (11/2).
(Baca: Anjloknya Harga Minyak Mengancam Target Lifting)
Kontraktor migas memang masih menunggu kebijakan pemerintah di tengah rendahnya harga minyak. Joint Venture and PGPA Manager Ephindo Energy Private Ltd Moshe Rizal Husin mengatakan, investor sudah mengusulkan agar ada insentif moratorium eksplorasi. Jadi, kontraktor bisa menunda kegiatan eksplorasi tanpa mengurangi jatah waktu eksplorasi yang biasanya diberikan 10 tahun.
Namun, dia menyerahkan keputusan usulan tersebut kepada pemerintah. Yang jelas, harapannya pemerintah segera memutuskan untuk memberikan insentif. “Semoga bisa cepat."
Sembari menanti terbitnya insentif, menurut Moshe, hal yang tidak kalah penting dilakukan pemerintah saat ini adalah mengurangi disinsentif di sektor migas. Artinya, pemerintah menghapus kebijakan yang dapat menghambat kegiatan migas. Salah satu contohnya perizinan agar lebih sederhana. Selain itu, tumpang tindih lahan dan lambatnya pengambilan keputusan.
Moshe juga mengimbau agar di antara pejabat pemerintah tidak menonjolkan ego sektoral. Dengan begitu, pengadaaan lahan dapat dipermudah dan adanya kepastian peraturan. “Intinya kami butuh iklim investasi yang ramah, yang mendorong pembangunan,” ujar dia.
Menurut dia daya saing bisnis migas Indonesia sangat lemah dibandingkan negara lain. Indikatornya adalah biaya operasi di Indonesia lebih mahal. Kondisi tersebut menjadi sorotan para investor migas. Jika kondisi itu tidak ada perubahan, investor bisa kabur dari Indonesia. Mereka akan memilih negara yang lebih menguntungkan dan mudah dalam menjalankan bisnisnya, meskipun tidak memiliki cadangan yang besar.
(Baca: Izin Rumit Biaya Produksi Migas pun Mahal)
Direktur Jenderal Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) I.G.N. Wiratmaja Puja mengaku, pihaknya masih membahas insentif yang akan diberikan kepada kontraktor migas. Dengan harga minyak yang rendah saat ini, perlu ada insentif bagi para kontraktor. "Sedang dibahas, belum final. Pokoknya segera karena ini kan harga minyak memang di bawah US$ 30 per barel," katanya di Jakarta, Selasa (16/2).
Selain moratorium eksplorasi, pemerintah tengah membahas insentif yang diminta kontraktor, seperti fleksibilitas mengubah wilayah kegiatan eksplorasi. Misalnya, Total E&P Indonesie dan Chevron Indonesia yang mengelola lapangan di Kalimantan, Sumatera dan Papua. Kalau ada insentif, kedua kontraktor itu bisa memindahkan kegiatan eksplorasi di lapangan lainnya yang dianggap lebih potensial. Kontraktor juga diberi keleluasaan mengganti kegiatan eksplorasi dengan survei seismik 3D menjadi 2D, atau hanya membeli data dari pemerintah.
Kontraktor juga meminta agar tidak ada pungutan pajak bumi dan bangunan (PBB). Sementara dalam masa produksi, kontraktor meminta pembebasan pajak hingga lebih dari lima tahun.
Permintaan lainnya, jatah migas untuk pemerintah saat awal produksi atau first tranche petroleum (FTP) dan jatah migas dalam negeri (domestic market obligation/DMO) tidak diterapkan selama harga minyak rendah. Selain itu, usulan bagi hasil pemerintah menjadi lebih dinamis. Apabila harga minyak rendah, maka bagi hasil untuk pemerintah lebih kecil. Kontraktor migas juga mengusulkan agar penggantian biaya operasi (cost recovery) yang dilakukan di luar negeri, dapat dibayarkan melalui produksi di Indonesia.
(Baca: Chevron PHK Ribuan Karyawan di Indonesia)
Rendahnya harga minyak memang sangat memukul perusahaan migas. Demi efisiensi, para kontraktor juga melakukan PHK karyawannya. Namun, menurut Wiratmaja, yang berencana mengurangi karyawannya cuma satu kontraktor migas yaitu Chevron Indonesia. Perusahaan migas asal Amerika Serikat (AS) ini akan mengurangi 25 persen dari total karyawannya. “Itu ditawarkan kalau mengambil pensiun dini. Makanya kami ketemu dengan Indonesian Petroleum Association (IPA) untuk diskusi supaya tidak terjadi PHK besar-besaran,” ujar dia.