KATADATA - Perusahaan-perusahaan migas multinasional menelan pil pahit selama 2015. Kejatuhan harga minyak mentah dunia mulai pertengahan 2014 menjadi pemicu utama. Bahkan, pada akhir tahun lalu, harga “emas hitam” tersebut sudah di bawah US$ 40 per barel. Alhasil, laba sejumlah perusahaan berguguran.
Kondisi tersebut, misalnya, terlihat pada ExxonMobil. Dalam rilis pada Selasa, 2 Februari 2016 waktu setempat, perusahaan asal Amerika Serikat ini menyatakan laba industri hulunya tinggal US$ 7,1 miliar, anjlok US$ 20,4 miliar dibanding 2014. Pemasukan hulu korporasi tahun lalu merosot US$ 6,3 miliar dari 2014. Di luar Amerika, pendapatan hulu mereka juga terpangkas US$ 14,2 miliar menjadi US$ 8,2 miliar.
Chief Executive Officer ExxonMobil Rex W. Tillerson menyatakan kondisi keuangan perusahaan sedang diuji. “Meski kinerja keuangan perusahaan menunjukkan adanya situasi yang menantang, kami tetap fokus pada fundamental bisnis, termasuk mengeksekusi proyek dan manajemen biaya yang efektif,” kata Tillerson. Ia juga optimistis skala dan ragam arus kas yang ada, dengan didukung kekuatan finansial, mampu menunjang investasi. (Baca: Banjir Pasokan, Harga Minyak Indonesia Januari 2016 Tumbang)
Untuk menunjukan keyakinannya, ia bercerita perusahaan tersebut menyelesaikan enam proyek hulu dan berhasil memproduksi 4,1 juta barel miyak per hari pada tahun lalu. Hasil ini diperoleh melalui pengembangan bisnis di Kanada, Indonesia, Norwegia, Amerika Serikat, dan Afrika Barat dengan tambahan 300ribu barel minyak per hari. Sayangnya, penjualan produk petroleum ExxonMobil turun 121 ribu barel per hari dari 2014.
Secara keseluruhan, sepanjang tahun lalu, laba ExxonMobil terpangkas hingga separuhnya dari US$ 32,5 miliar pada 2014 menjadi US$ 16,2 miliar. Di sis lain, pengeluaran perusahaan untuk eksplorasi dan belanja modal pun turun 19 persen dibanding 2014, menjadi US$ 31,1 miliar. Bahkan, perusahaan memperkirakan penurunan ini berlanjut pada tahun ini. Hal itu mengingat alokasi belanja modal dan eksplorasi dipangkas seperempat dari 2015, menjadi US$ 23,2 miliar.
Selain ExxonMobil, perusahaan migas multinasional lainnya yang terpukul kejatuhan harga minyak yaitu BP. Perusahaan asal Inggris itu juga mengalami turbulensi keuangan tahun lalu. Melalui siaran persnya, perusahaan menyebutkan adanya penurunan laba hingga 51 persen dari 2014 menjadi US$ 5,9 miliar. Melemahnya harga migas di segmen hulu BP dituding menjadi penyebab kerugian. (Baca: Harga Minyak Rendah Dinilai Berefek Positif Bagi Ekonomi Indonesia).
Akibat beratnya kinerja keuangan ini, perusahaan berencana memangkas empat ribu orang dari jumlah pegawai dan kontraktor di sektor hulu tahun ini. Di level hilir, jumlah karyawan yang akan terkena pemutusan hubungan kerja diprediksi mencapai tiga ribu orang hingga akhir 2017.
Selain karena kejatuhan harga minyak dunia, BP juga menghadapi masalah pelik dalam tuntutan denda US$ 443 miliar atas kasus tumpahan minyak di Teluk Meksiko pada 2010 lalu. Pengadilan akan digelar pada 23 Maret 2016 untuk membahas ketentuan bagi perusahaan dalam menyelesaikan semua kewajiban denda.
Bagaimanapun juga, BP masih percaya mampu mencatatkan pertumbuhan. “Kami menciptakan kemajuan dengan mengatur serta memangkas pengeluaran biaya dan belanja modal,” kata BP Group Chief Executive Bob Dudley. (Baca: Chevron PHK Ribuan Karyawan di Indonesia)
Kesulitan juga menimpa Chevron Corporation. Pada rilis yang diterbitkan Jumat, akhir pekan lalu, perusahaan mengumumkan laba perusahaan jatuh menjadi US$ 4,6 miliar pada 2015 dari US$ 19,2 miliar pada tahun sebelumnya. Chairman dan Chief Executive Officer Chevron John Watson terang-terangan mengakui kondisi ini.
“Pemasukan kami sepanjang 2015 anjlok tajam dibanding tahun sebelumnya, mencapai hampir 50 persen,” ujarnya. Untuk mendongkrak pendapatan dan arus kas di tengah melemahnya harga minyak, perusahaan memotong pengeluaran operasional dan modal hingga US$ 9 miliar. Pemotongan ini masih akan terus berlangsung pada 2016, dengan nilai yang lebih besar.