KATADATA - Pemerintah mengusulkan masa kontrak blok minyak dan gas (migas) ditambah enam tahun. Usulan ini diharapkan bisa masuk dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Migas (RUU Migas) di Komisi VII DPR.
Direktur Pembinaan Usaha Hulu Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Djoko Siswanto mengatakan masa kontrak blok migas saat ini kurang ekonomis karena hanya 30 tahun. Padahal untuk mengurus izin saja membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Belum lagi pembangunan fasilitas untuk produksi. (Baca : RUU Migas Masih Minim Pembahasan di DPR)
Makanya, dia mengusulkan masa kontrak untuk satu blok migas paling tidak 36 tahun. Jika dalam UU Migas Nomor 22 tahun 2001, masa eksplorasi diberikan 10 tahun dan 20 tahun untuk eksploitasi, Djoko mengusulkan ada tambahan sekitar lima atau enam tahun untuk rencana pengembangan. Lima tahun untuk rencana pengembangan blok migas di darat, sementara blok migas di laut diberikan waktu enam tahun.
“Masa pengembangan plan of development (POD) juga mengurangi masa produksi. Dalam Undang-Undang yang baru kami mau masukan waktu untuk membangun kilang LNG, pipa, plafond dan lain-lain,” kata dia akhir pekan lalu di kantornya, Gedung Migas, Jakarta.
Dengan masa kontrak yang lebih lama diharapkan mampu meningkatkan iklim investasi industri hulu migas di Indonesia. Apalagi kondisi harga minyak saat ini juga masih di kisaran US$ 30 per barel. Untuk menghindari pemutusan hubungan kerja saat harga minyak yang masih rendah, pemerintah sedang mempersiapkan insentif bagi kontraktor migas. (Baca : Chevron PHK Ribuan Karyawan di Indonesia)
Djoko mengatakan usulan ini muncul setelah mendengar masukan dari para pelaku industri hulu migas yang tergabung dalam Indonesian Petroleum Association (IPA). Dengan kondisi industri migas yang sedang terpuruk akibat rendahnya harga minyak, pengusaha membutuhkan insentif untuk meringankan bebannya. Dalam diskusi yang diadakan beberapa pekan lalu Djoko mencatat setidaknya kontraktor migas meminta insentif dari mulai eksplorasi sampai dengan tahap produksi.
Untuk blok yang masih eksplorasi kontraktor migas meminta insentif moratorium eksplorasi. Artinya jika tahun ini kontraktor migas tidak melakukan eksplorasi, maka tidak akan mempengaruhi jatah masa eksplorasi yang telah ditetapkan. Usulan ini pun disertai ancaman. Jika tidak diberikan, akan membiarkan masa eksplorasi habis dan hengkang dari Indonesia.
Menurut Djoko, pemerintah bisa merealisasikan usulan tersebut. Moratorium bisa diberikan selama satu tahun, dan akan dievaluasi lagi sesuai dengan kondisi harga minyak dunia. Jika harga minyak membaik, maka moratorium akan dicabut.
Kontraktor migas juga meminta fleksibilitas mengubah kegiatan eksplorasi. Misalnya, Total E&P dan Chevron yang mengelola lapangan di Kalimantan, Sumatera dan Irian. Maka kedua kontraktor itu dapat diberikan keleluasaan untuk memindahkan kegiatan eksplorasi di lapangan lainnya yang dianggap lebih potensial. Kontraktor juga diberi keleluasaan untuk mengganti kegiatan eksplorasi dengan survei seismik 3D menjadi 2D, atau hanya membeli data kepada Pemerintah.
Selama eksplorasi, kontraktor juga minta tidak ada pungutan pajak bumi dan bangunan (PBB). Saat ini ada 23 kontraktor migas yang bermasalah dengan PBB eksplorasi dengan nilai Rp 3,2 triliun. Sebagian masih bersengketa di pengadilan pajak. “Kontraktor minta jangan dikalahkan. Kalau eksplorasi kan tidak dapat apa-apa, tapi kena pajak itu memberatkan,” ujar dia. (Baca : 23 Kontraktor Migas Terjerat Sengketa Pajak Rp 3,2 Triliun)
Sementara untuk masa produksi, kontraktor meminta pembebasan pajak hingga lebih dari lima tahun. Jatah migas untuk pemerintah saat awal produksi atau (first tranche petroleum/FTP) dan jatah migas dalam negeri (domestic market obligation/DMO) diminta tidak diterapkan selama harga minyak masih rendah. Selain itu, bagi hasil pemerintah pun diusulkan menjadi dinamis. Apabila harga minyak rendah, maka bagi hasil untuk Pemerintah juga lebih kecil.
Kontraktor migas juga mengusulkan agar penggantian biaya operasi (cost recovery) kontraktor yang dilakukan di luar negeri, dapat dibayarkan melalui produksi di Indonesia. Tapi usulan ini tidak dapat diterima Pemerintah. “Masa cost di Malaysia minta dibayarin di Indonesia,” kata Djoko.