KATADATA - Runtuhnya harga minyak mentah dunia hingga US$ 30 per barel berimbas kepada jatuhnya harga komoditas, termasuk minyak sawit (CPO). Karena itu, muncul kekhawatiran program pencampuran minyak nabati -dalam hal ini dari CPO- atau B20 akan terhenti. Namun pemerintah menyatakan berkomitmen melanjutkan mandatori B20 tersebut.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan dengan berjalannya program B20 akan mengerem impor bahan bakar minyak (BBM) sebanyak 6,9 juta kiloliter tahun ini. “Atau setara penghematan devisa US$ 2 miliar dalam setahun,” kata Darmin pada peresmian roadshow B20 di Kementerian Keuangan, Jakarta, Rabu, 27 Januari 2016.
Sebagai penyangga program ini akan diambil dari anggaran CPO Fund. Bagi Darmin, dana CPO fund yang menyokong selisih harga solar dan sawit itu cukup mendukung B20. CPO Fund 2016 ditargetkan bisa terkumpul hingga Rp 10 triliun. “Sampai setahun tidak ada masalah, tidak ada kesulitan dana kecuali dipergunakan untuk hal-hal lain yang mendesak,” ujar Darimin. (Baca: Penurunan Harga Minyak Hambat Kebijakan Biodiesel).
Menurutnya, masyarakat tidak perlu khawatir terhadap implementasi B20 pada mesin kendaraan. Dia menjamin aman. Hanya saja, untuk mensukseskan program ini memang butuh kerja keras pemerintah, misalnya melalui sosialisasi B20 lewat perwakilan dari Kementerian Energi dan Sumner Daya Mineral, Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), dan beberapa universitas sebagai lokasi tujuan sosialisasi.
Sementara itu, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan program biodiesel harus dijalankan agar menciptakan nilai tambah, terutama bagi petani sawit. Dengan menurunya ekspor sawit, produk turunannya mesti didorong lebih meningkat dan dilempar ke negara-negara berpopulasi besar seperti Cina. Apalagi, Cina mulai menghentikan industri yang memakai bahan bakar batu bara karena tidak mendukung penciptaan udara bersih atau blue sky. “Mereka lebih cocok dengan renewable energy,” kata Bambang.
Namun, dia melanjutkan, konsep ini masih dibicarakan internal pemerintah dengan produsen sawit agar dapat diterapkan. Dengan begitu, jika pogram ekspor berjalan, lambat laun harga sawit akan terdongkrak dan meningkatkan pemasukan negara. (Baca juga: Tak Campur Biodiesel, Penyalur BBM Terancam Denda Rp 6 Ribu per Liter).
Sementara itu, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, Kementerian energi Rida Mulyana membenarkan adanya kekhawatiran terkait gap harga minyak dunia yang tinggi dengan harga sawit. Namun dia menegaskan program B20 tetap berjalan melalui konsolidasi dan koordinasi di level kementerian dan lembaga pemerintah.
Sebelumnya, Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit Bayu Krisnamurthi mengatakan penurunan harga minyak akan membuat kebutuhan dana yang dikumpulkan dari produk sawit yang diekspor (CPO Fund) meningkat. CPO Fund ini digunakan salah satunya untuk mensubsidi selisih harga biodiesel dan solar.
Asumsinya, setiap penurunan harga minyak US$ 1 per barel, dibutuhkan dana Rp 350 miliar. Sejak awal tahun hingga sekarang, harga minyak sudah turun US$ 10 per barel. Artinya butuh tambahan CPO Fund hingga Rp 3,5 triliun. Tahun ini, untuk merealisasikan program B20, membutuhkan dana Rp 9,5 triliun dari CPO Fund. Kebutuhan tersebut mengacu pada asumsi harga minyak US$ 40 per barel dan harga CPO US$ 500 per ton. Jika asumsi harga minyaknya mencapai US$ 20 per barel, kebutuhan dananya meningkat hingga Rp 16,5 triliun. (Lihat pula: Harga Minyak Anjlok, Program Biodiesel Dipastikan Tetap Jalan).
Menurut Bayu, ada beberapa opsi yang bisa digunakan untuk menutup kekurangan dana. Sayang, dia belum mau menyebutkan pilihan-pilihan tersebut. Dia berharap, dengan turunnya harga minyak tidak membuat harga CPO ikut terkapar. Meski harga sawit kini melesu, dia memperkirakan akan terdongkrak pada awal semester dua nanti.