Peringkat Utang Pertamina Terancam Jatuh di Bawah Level Investasi

Arief Kamaludin|KATADATA
Manajemen Pertamina saat memaparkan kinerja kuartal III-2015 di Jakarta, 20 Oktober tahun lalu.
Penulis: Yura Syahrul
26/1/2016, 13.49 WIB

KATADATA - Berlanjutnya penurunan harga minyak ke level terendah, telah menggerus pundi-pundi pendapatan perusahaan minyak dan gas bumi (migas). Pendapatan yang kian menciut itu dapat menyulitkan perusahaan untuk membayar utangnya. Alhasil, Moody’s Investors Service (Moody's) berencana mengkaji ulang untuk menurunkan peringkat utang ratusan perusahaan migas di seluruh dunia, termasuk dua perusahaan asal Indonesia: PT Pertamina (Persero) dan PT Energi Mega Persada Tbk (EMP).

Dalam siaran pers yang dipublikasikan Jumat pekan lalu (22/1), Moody’s mencatat peringkat perusahaan Pertamina sebesar Baa3. Begitu pula peringkat dua surat utang perusahaan migas milik negara ini, yaitu Senior Unsecured MTN dan Senior Unsecured Regular Bond/Debenture.

Baa3 merupakan derajad terendah level layak investasi (investment grade) versi Moody’s, yang menunjukkan risiko moderat utang tersebut. Artinya, jika lembaga rating internasional ini jadi menurunkan peringkat Pertamina maka peringkatnya akan jatuh ke level speculative grade, yang utangnya berisiko secara substansial. Sebagai pembanding, dua lembaga rating internasional lainnya menyematkan peringkat berbeda kepada Pertamina. Fitch Ratings memberikan peringkat BBB- (setara Baa3 versi Moody’s) dan Standard & Poors mengganjar peringkat BB+ (satu derajad di bawah Baa3 alias di bawah level layak investasi).

Direktur Keuangan Pertamina Arief Budiman mengatakan, Moody's memang tengah mengkaji ulang berbagai perusahaan migas seiring dengan menurunnya harga minyak mentah. Namun, dia menjamin kemampuan pembayaran utang Pertamina mencukupi. Apalagi, Pertamina tengah menjalankan efisiensi tambahan untuk menjaga arus kasnya.

(Baca: Efisiensi, Pertamina Kurangi Aktivitas Jalan-Jalan ke Luar Kota)

Meski begitu, dia mengakui Pertamina akan terkena dampak dari potensi penurunan peringkat utang di bawah level layak investasi tersebut. “Kemungkinan kenaikan biaya bunga (karena rating turun) jika akan melakukan penerbitan obligasi lagi,” kata Arief kepada Katadata, Selasa (26/1). Ia menyebut, nilai total surat utang global Pertamina saat ini mencapai US$ 8,75 miliar atau sekitar Rp 120,75 triliun. Adapun berdasarkan catatan Katadata, arus kas operasional Pertamina per semester I-2015 mencapai US$ 4 miliar.

Namun, menurut Arief, Moody's baru akan memutuskan hal tersebut paling cepat akhir kuartal I-2016. Selain itu, keputusannya mengacu kepada kinerja Pertamina hingga akhir 2015.

Perusahaan migas lokal yang juga terancam penurunan peringkat oleh Moody’s adalah Energi Mega Persada. Saat ini, peringkat jangka panjang perusahaan migas Grup Bakrie ini sebesar B2. Ini berada di bawah level layak investasi dengan deskripsi utang yang berisiko tinggi.

(Baca: Banjir Pasokan, Harga Minyak Bisa Terus Turun Hingga Akhir Tahun)

Selain Indonesia,  Moody’s juga tengah mengkaji penurunan peringkat dua perusahaan migas di kawasan Asia Tenggara. Pertama, Petroliam Nasional Berhad (Petronas) asal Malaysia yang menyandang peringkat perusahaan dan utangnya A1. Kedua, PTT Public Company Limited asal Thailand yang menyandang peringkat Baa1 dan peringkat obligasi subordinasi Baa3.

Vikas Halan, Vice President – Senior Credit Officer Corporate Finance Group Moody's di Singapura, mengatakan terus melorotnya harga minyak dunia membuat kemampuan pendanaan perusahaan migas menurun. Itulah yang mendasari Moody’s mengkaji penurunan peringkat perusahaan berikut peringkat utangnya. Fokus pengkajian itu terhadap perusahaan yang menyandang peringkat dalam kisaran A1 hingga B3 alias batas level layak investasi (investment grade). Semakin tingginya peringkat menunjukkan daya tahan lebih kuat perusahaan dalam menghadapi harga minyak yang rendah.

Moody’s melihat, harga minyak terus memburuk secara substansial dalam beberapa pekan terakhir hingga mencapai posisi terendah dalam lebih satu dekade terakhir. Pada Selasa ini (26/1), harga minyak jenis WTI di bursa NYMEX, Amerika Serikat, turun 1,68 persen dari hari sebelumnya menjadi US$ 29,83 per barel. Bahkan, pada 20 Januari lalu sempat menyentuh US$ 26,55 per barel. Sedangkan harga minyak Brent di bursa ICE melorot 1,34 persen menjadi US$ 30,09 per barel. Sedangkan pada 20 Januari lalu sempat jatuh ke level US$ 27,88 per barel.

(Baca: Banyak Perusahaan Tutup Jika Harga Minyak di Bawah US$ 30)

Moody’s memperkirakan harga minyak akan terus merosot dan peluang bangkit kembali (rebound) dalam jangka menengah ini masih lambat. Pasalnya, Iran siap menambah pasokan minyak dunia sekitar 500 ribu barel per hari pasca pencabutan sanksi ekspor minyak. Sementara itu, negara-negara anggota organisasi pengekspor minyak (OPEC) dan banyak produsen minyak non-OPEC tak mau kehilangan pangsa pasar dengan terus menggenjot produksi minyaknya.

Peningkatan produksi ini jauh melebihi pertumbuhan konsumsi minyak dunia. Pertumbuhan moderat konsumsi dari konsumen utama seperti China, India dan Amerika Serikat. Alhasil, ada kelebihan produksi minyak dunia saat ini sekitar 2 juta barel per hari yang berdampak pada terus tertekannya harga minyak.

Moody’s menilai, rendahnya harga minyak akan semakin melemahkan arus kas perusahaan hulu migas di sektor eksplorasi dan produksi, termasuk perusahaan jasa pendukungnya. Mayoritas perusahaan pun tidak memiliki dana yang cukup untuk membiayai belanja modalnya. Selain itu, kondisi saat ini mengurangi nilai aset yang bisa dijual oleh perusahaan untuk memperkuat kas internal. “Sedangkan upaya perusahaan mencari pendanaan dari pasar surat utang dan saham semakin sulit karena biayanya lebih mahal,” kata Halan dalam siaran pers Moody’s.

Karena itulah, Moody’s juga tengah mengkaji penurunan peringkat 120 perusahaan migas di seluruh dunia. Mulai dari perusahaan raksasa migas di Eropa seperti Royal Dutch Shell Plc, Total SA dan BP Plc, hingga perusahaan sekelas Statoil ASA, Eni SpA dan perusahaan jasa pengeboran Schlumberger Ltd. “Kemungkinan kesimpulan pengkajiannya pada akhir kuartal pertama 2016, yang dapat mencakup penurunan peringkat beberapa derajad untuk sejumlah perusahaan,” kata Moody’s.

Reporter: Yura Syahrul, Arnold Sirait