Pertamina Fokus Garap Empat Blok CBM Tahun Ini

KATADATA/
Penulis: Arnold Sirait
21/1/2016, 13.37 WIB

KATADATA -  Terus menurunnya harga minyak dunia, mendorong PT Pertamina Hulu Energi (PHE) lebih selektif dalam mengembangkan usahanya. Tahun ini, anak usaha PT Pertamina (Persero) tersebut, bakal fokus menggarap empat blok coal bed methane/CBM atau gas batubara metana (GBM). Yaitu Blok Muara Enim I, Tanjung Enim, Sangata II dan Tanjung II.

Presiden Direktur Pertamina Hulu Energi Gunung Sardjono Hadi mengatakan, pihaknya saat ini memang memiliki 14 blok CBM dan dua blok shale gas. Dari 16 blok nonkonvensional, komisaris dan pemegang saham PHE yang notabene adalah Pertamina meminta agar perusahaan fokus menggarap empat blok saja. Pertimbangannya, harga minyak dunia masih rendah saat ini.

Menurut Gunung, empat blok nonkonvensional itu memang memiliki potensi cukup bagus. Total produksinya mencapai tiga juta kaki kubik (mmscfd). “Semua masih pilot dan dewatering,” katanya kepada Katadata, Kamis (21/1). Sebelum menggarap empat blok tersebut, PHE terlebih dahulu bakal melakukan kajian dan evaluasi. Pasalnya, mengelola blok nonkonvesional sangat berbeda dengan blok konvensional. 

(Baca : Pelaku Migas Non-Konvensional Keluhkan Aturan Pengadaan Barang dan Jasa)

Sebagai informasi, CBM adalah gas alam yang mayoritas berupa gas metana dan disertai sedikit hidrokarbon lainnya dan gas non-hidrokarbon dalam batubara hasil dari beberapa proses kimia dan fisika. Secara teknis CBM diproduksi dengan cara merekayasa terlebih dahulu batubara (sebagai reservoir) agar didapatkan cukup ruang sebagai jalan keluar gasnya.

Proses rekayasa diawali dengan memproduksi air (dewatering) agar terjadi perubahan keseimbangan mekanika. Setelah tekanan turun, gas batubara akan keluar dari matriks batubaranya. Gas metana kemudian akan mengalir melalui rekahan batubara (cleat) dan keluar menuju lubang sumur. Puncak produksi CBM bervariasi antara dua tahun sampai tujuh tahun. Sedangkan periode penurunan produksi (decline) lebih lambat dari gas alam konvensional.

(Baca : Aturan Migas Nonkonvensional Resmi Terbit, Kontraktor Bisa Ubah Kontraknya)

Untuk itu, Gunung menganggap peralatan seperti rig yang digunakan memproduksi gas di blok CBM tidak sama dengan dengan rig blok migas konvensional. PHE saat ini masih menunggu persetujuan dari Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) supaya dapat menggunakan rig  yang dibuat PT Pertamina Drilling Services Indonesia dan bekerjasama dengan Lemigas. Dari segi biaya, rig ini pun akan lebih murah daripada rig untuk mengebor sumur migas konvensional.

Selain soal biaya, Gunung menganggap proses menghasilkan gas di blok CBM juga membutuhkan waktu yang panjang. Apalagi karakteristik cadangan yang ada di Indonesia masih kurang dibandingkan negara lain seperti Australia. Sebagai contoh, 5 sumur CBM di Australia dapat menghasilkan 5 mmscfd. Sementara di Indonesia, satu sumur hanya bisa menghasilkan 0,004 mmscfd. 

Mengacu data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), saat ini cadangan CBM di Indonesia diperkirakan sebesar 453 triliun kaki kubik (tcf). CBM Indonesia berada di cekungan Sumatera Selatan sebesar 183 tcf, Barito sebesar 101,6 tcf, Kutai sebesar 89,4 tcf dan Sumatera Tengah sebesar 52,5 tcf. Potensi yang ada di empat blok tersebut dikategorikan memiliki prospektif yang tinggi. 

(Pemerintah Akan Membuat Roadmap Migas Nonkonvensional)

Sementara yang kategori berprospektif sedang berada di Cekungan Tarakan Utara sebesar 17,5 tcf, Berau sebesar 8,4 tcf, Ombilin sebesar 0,5 tcf, Pasir/Asam-Asam sebesar 3,0 tcf dan Jatibarang 0,8 tcf. Adapun prospektif rendah terletak di  cekungan Sulawesi (2,0 TCF) dan Bengkulu (3,6 TCF).

Reporter: Arnold Sirait