KATADATA - Anjloknya harga minyak dunia hingga mencapai level US$ 20-an per barel pada awal tahun ini, turut mengancam kelangsungan beberapa proyek minyak dan gas bumi (migas). Salah satu proyek yang terancam ditunda adalah proyek pengembangan Blok Nunukan milik PT Pertamina (Persero).
Gunung Sardjono Hadi, Presiden Direktur PT Pertamina Hulu Energi (PHE), anak usaha Pertamina yang mengelola Blok Nunukan, mengatakan pihaknya saat ini masih menunggu persetujuan proposal rencana pengembangan atau plan of development (POD) blok tersebut dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Awalnya dia berharap proposal tersebut dapat disetujui tahun ini sehingga proyeknya bisa beroperasi pada 2019 mendatang.
Meskipun POD itu telah disetujui bulan depan, ternyata Gunung belum bisa memastikan PHE bakal bisa menjalankan proyek tersebut sesuai target waktu yang sudah ditetapkan. “Kalau sudah disetujui, kami akan review (tinjau) kembali terkait eksekusinya,” kata dia di kantor pusat Pertamina, Jakarta, beberapa hari lalu.
(Baca : Banyak Perusahaan Tutup Jika Harga Minyak di Bawah US$ 30)
Selain rendahnya harga minyak, dia mengungkapkan, faktor lain yang membuat Pertamina meninjau ulang pengembangan Blok Nunukan adalah kondisi pasar. Artinya, Pertamina harus memastikan adanya pihak yang membeli gas hasil produksi Blok Nunukan. Blok ini akan direncanakan akan memproduksi gas sebanyak 60 juta kaki kubik (mmscfd). Masalahnya, sampai saat ini belum ada kepastian mengenai pembelian gas tersebut. PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang biasanya menjadi pembeli utama gas yang diproduksi di dalam negeri, pun belum memastikan akan membeli gas dari Blok Nunukan. “Kalau PLN setuju harga sekian, baru (kami) eksekusi,” ujar Gunung.
Pertamina melalui PHE Nunukan Company saat ini memiliki 64,5 persen di Blok Nunukan. Saham ini bertambah dari besaran awal yang hanya mencapai 35 persen. Penambahan ini terjadi karena PT Medco Energi Internasional Tbk melepas sahamnya dengan alasan tidak ekonomis. Pemegang saham lain blok itu adalah Videocon, yang porsinya juga bertambah dari 12,5 persen menjadi 23 persen saham. Sisanya dikempit oleh BPRL Ventures Ind BV sebesar 12,5 persen.
Harga minyak yang rendah memang memaksa Pertamina mengkaji ulang beberapa proyek pengembangan migas. Gunung menyatakan, Pertamina hanya akan melakukan pengeboran pada suatu blok jika sudah pasti memberikan kontribusi. Untuk lapangan yang tidak ekonomis, terpaksa harus ditunda pengembangannya.
Secara rata-rata, Gunung mengatakan, ongkos produksi untuk seluruh lapangan yang dikelola oleh PHE sebesar US$ 20 per barel setara minyak. Sebagai perbandingan, harga minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) dan jenis Brent di pasar spot, Senin ini, masing-masing sebesar US$ 29,01 dan US$ 28,45 per barel.
Untuk menghadapi kondisi harga minyak yang rendah tersebut, Pertamina juga terus melakukan efisiensi. Perusahaan pelat merah ini berusaha menekan biaya operasi hingga 30 persen. Ada pun beberapa langkah yang dilakukan mulai dari pengurangan jam kerja hingga jalan-jalan ke luar kota. Tapi dengan adanya efisiensi, Pertamina belum akan melakukan pengurangan karyawannya. (Baca : Efisiensi, Pertamina Kurangi Aktivitas Jalan-Jalan ke Luar Kota)
Selain biaya operasi, PHE juga mengurangi belanja modalnya tahun ini. Untuk 2016, PHE telah menetapkan belanja modal (capital expenditure/capex) sebesar US$ 686 juta. Anggaran ini 18 persen lebih rendah dibandingkan tahun lalu yang mencapai US$ 840 juta. Namun, karena harga minyak yang rendah, realisasi sepanjang 2015 masih rendah yakni US$ 531 juta.
(Ekonografik: Masa Suram Negeri Petrodolar)
Meski anggarannya berkurang, kegiatan eksplorasi tahun ini diharapkan lebih baik dibandingkan tahun lalu. Tahun ini, Pertamina Hulu Energi akan melakukan kegiatan seismik 2D sepanjang 3.245 kilometer (km), seismik 3D 513 kilometer persegi, dan pengeboran tujuh sumur eksporasi. Sementara 2015, kegiatan seismik 2D hanya 200 km dan 3D hanya 35 km persegi.
Pengurangan justru pada kegiatan pengeboran sumur pengembangan. Tahun ini PHE hanya akan melakukan pengeboran pada 38 sumur pengembangan. Padahal, tahun lalu ada 61 sumur pengembangan yang dibor. Sementara kegiatan kerja ulang sumur meningkat dari 41 sumur menjadi 53 sumur.