KATADATA - Pemerintah sedang menyiapkan badan otoritas untuk kawasan industri penunjang Blok Masela. Rencana tersebut muncul dalam rapat antara Menteri Perindustrian Saleh Husin dan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Amien Sunaryadi.
Direktur Kimia Dasar Kementerian Perindustrian Muhammad Khayam mengatakan badan otoritas tersebut nantinya ditetapkan di sekitar Maluku Selatan yang berdekatan dengan Blok Masela. Di kawasan tersebut akan terdapat beberapa industri, baik penunjang operasional Blok Masela atau industri yang akan memanfaatkan gas dari blok tersebut. (Baca: Pemerintah Diminta Utamakan Efek Berantai di Blok Masela)
“Akan dibuat Peraturan Pemerintah untuk dibentuk badan otoritas, yang akan dimanfaatkan industri-industri di sekitar Maluku Selatan. Agar keberadaan Blok Masela dapat memberikan (manfaat) langsung ke masyarakat yang ada di wilayah tersebut,” kata Khayam usai rapat di Kantor Kementerian Perindustrian, Jakarta, Kamis, 7 Januari 2016.
Dari Kementerian Perindustrian, kata dia, juga sedang menyiapkan industri pendukung. Selama ini industri migas di kawasan timur berasal dari luar wilayah Indonesia Timur, bahkan diambil dari luar negeri. Misalnya, industri-industri tersebut berasal dari Batam dan Singapura.
Untuk itu Kementerian Perindustrian mengusulkan dibangunnya industri di wilayah tersebut seperti industri kapal, kompresor, dan turbin. Dengan begitu kawasan timur Indonesia diharapkan bisa lebih berkembang. “Di Maluku Selatan ini harus terbentuk suatu industri pendukung di sekitar itu. Makanya nanti ada join dengan SKK Migas,” ujar dia.
Namun Khayam enggan menyebut apakah Pemerintah akan mengambil keputusan pembangunan kilang di darat (onshore) atau menggunakan fasilitas kilang pengolahan di laut (FLNG). Menurut dia, keputusan yang diambil harus memberikan penerimaan yang besar bagi negara, dan belanja modal yang dikeluarkan harus lebih sedikit. (Baca: Kajian Pengembangan Blok Masela Berdasarkan Enam Aspek)
SKK Migas sebenarnya sudah merekomendasikan pengembangan Blok Masela menggunakan skema FLNG. Menurut Amien Sunaryadi, skema FLNG lebih baik dibandingkan onshore. Jika menggunakan skema FLNG, biaya pembangunan kilang diprediksi hanya US$ 14,8 miliar atau Rp 207,2 triliun dan biaya operasional per tahun US$ 304 juta atau Rp 4,25 triliun.
Sementara untuk skema pembangunan kilang di darat, biaya pembangunan diperkirakan menghabiskan US$ 19,3 miliar atau Rp 270,2 triliun. Adapun biaya operasionalnya membutuhkan dana US$ 356 juta atau Rp 4,98 triliun. Rekomendasi ini kemudian dibawa ke Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said pada 10 September 2015. Setelah mendapatkan rekomendasi tersebut, Sudirman akan memutuskan pada 10 Oktober 2015.
Namun keputusan tersebut ditentang oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli. Menurut dia, skema onshore memberikan efek berganda pada perekonomian dibandingkan skema FLNG. Untuk menyelesaikan polemik tersebut, Kementerian Energi kemudian menyewa konsultan independen Poten and Partner untuk mengkaji opsi terbaik.
Bekerja selama kurang lebih satu bulan, Poten akhirnya merekomendasikan FLNG. Ketika hasil tersebut dibawa dalam rapat terbatas di kantor Kepresidenan, Jakarta, Selasa siang, 29 Desember 2015, beberapa menteri masih berbeda pendapat mengenai pengembangan blok yang memilki cadangan tersertifikasi sebesar 10,73 triliun kaki kubik (tcf). Untuk itu Presiden Joko Widodo berencana memanggil Inpex Corporation selaku kontraktor dari lapangan tersebut. Tujuannya untuk mendengar masukan secara langsung. (Baca: Menteri Masih Beda Pendapat, Jokowi Undang Kontraktor Blok Masela)