KATADATA - Meski harga minyak dunia terus merosot hingga di bawah level US$ 40 per barel, PT Pertamina (Persero) mengaku menderita kerugian dari penjualan bahan bakar minyak (BBM) jenis Premium. Pasalnya, harga jual Premium yang ditetapkan pemerintah seringkali di bawah harga keekonomian.
Manajemen Pertamina mencatat, akumulasi nilai kerugian penjualan Premium selama periode 1 Januari-31 Desember 2015, berdasarkan prognosa per 18 Desember lalu, mencapai Rp 6,3 triliun. Jumlah tersebut khusus penjualan Premium untuk wilayah penugasan di luar Jawa, Madura, dan Bali (Jamali).
Direktur Pemasaran dan Niaga Pertamina Ahmad Bambang mengatakan, kerugian tersebut akibat tidak adanya lagi sokongan dana subsidi harga BBM dari pemerintah pada tahun ini. Padahal, harga Premium masih ditetapkan oleh pemerintah. "Itu rugi untuk BBM Premium yang merupakan potensial loss, karena tidak ada bantalan dana (subsidi)," katanya kepada Katadata, Rabu (30/12).
Menurut Ahmad, seharusnya Pertamina diberikan kesempatan meraih profit dari penjualan BBM baik di Jamali dan non-Jamali sebesar 5 persen. Ia mencontohkan, pada awal November lalu seharusnya harga keekonomian Premium sebesar Rp 7.450 per liter. Namun, pemerintah masih mempertahankan harga Premium sebesar Rp 7.300 untuk wilayah non-Jamali. Alhasil, Pertamina menderita kerugian Rp 150 per liter atau senilai total Rp 149 miliar selama November lalu.
Kerugian paling besar dialami Pertamina pada bulan Juli lalu, yaitu senilai Rp 2 triliun. Kala itu, harga jual Premium seharusnya Rp 9.100 per liter namun pemerintah tidak menaikkan harga BBM tersebut. Berdasarkan data yang diperoleh Katadata, Pertamina baru dua bulan mencetak keuntungan sepanjang tahun ini dari penjualan Premium. Pertama, pada Februari 2015 sebesar Rp 274,3 miliar karena harga keekonomiannya Rp 6.300 di bawah harga jual yang sebesar Rp 6.600 per liter. Kedua, pada Desember ini, Pertamina menangguk keuntungan Rp 519 miliar dari penjualan Premium untuk non-Jamali.
Lantaran tak ingin terus mengakumulasikan kerugian tersebut, Pertamina saat ini dalam proses pemisahan bisnis penjualan Premium penugasan pemerintah dari bisnis perusahaan secara keseluruhan. Selanjutnya, Pertamina akan meminta pemerintah untuk menutup atau mengganti kerugian tersebut.
(Baca: DPR Tak Percaya Perhitungan Pertamina Soal Harga Premium)
Namun, Direktur Pembinaan Hilir Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Setyo Rini Tri Hutami mengatakan, nilai kerugian yang diklaim Pertamina tersebut akan diaudit terlebih dahulu. Jadi, hingga saat ini pemerintah belum menentukan sikap, apakah bakal membayar seluruh kerugian tersebut atau tidak. "Akan diaudit oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), nanti tunggu rekomendasinya," kata Rini kepada Katadata.
(Baca: Upaya Efisiensi, Pertamina Berhasil Menghemat Rp 17,8 triliun)
Sebelumnya, hingga awal Oktober lalu Pertamina pernah mengklaim masih mengalami kerugian dari penjualan BBM sebesar Rp 15 triliun. Di sisi lain, Pertamina berhasil menjalankan program efisiensi, mulai dari efektifitas biaya, optimalisasi aset dan penciptaan nilai tambah. Alhasil, nilai efisiensi tersebut mencapai US$ 1,28 miliar atau sekitar Rp 17,8 triliun.
Artinya, kalau hasil efisiensi tersebut dipakai untuk menutup kerugian dari penjualan Premium, Pertamina masih memiliki kelebihan dana. Namun, Direktur Keuangan Pertamina Arief Budiman mengaku langkah-langkah efisiensi tersebut belum bisa menutupi semua kerugian tersebut. “Sementara, ada sedikitlah (yang bisa ditutupi),” katanya.