Anjloknya Harga Minyak Mengancam Target Lifting

KATADATA
Pengeboran minyak lepas pantai.
Penulis: Arnold Sirait
18/12/2015, 10.00 WIB

KATADATA  Rendahnya harga minyak mentah dunia bisa mengancam target lifting minyak tahun depan. Target lifting yang telah ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016 sebesar 830.000 barel per hari (bph) kemungkinan tidak akan tercapai.

Deputi Pengendalian Operasi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Muliawan mengatakan penentuan target lifting sebesar 830.000 bph itu dengan asumsi harga minyak US$ 50 perbarel. “Sekarang harga minyak jauh di bawah US$ 50 per barel,” kata dia kepada Katadata beberapa waktu lalu.

Harga minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) di pasar spot bursa Newyork sampai Kamis (17/12) masih berada pada level US$ 35,47 per barel. Sementara harga Brent sedikit lebih tinggi, sebesar US$ 37,21 per barel. (Baca: Kontraktor Migas yang Tak Capai Target Lifting Bakal Kena Sanksi)

Untuk lifting tahun depan memang masih mengandalkan produksi dari Blok Cepu. Masalahnya, produksi puncak blok tersebut yang diharapkan bisa mencapai 205.000 bph tidak mungkin akan terealisasi. Produksi Blok Cepu hanya akan mengandalkan fasilitas produksi utama (central production facility/CPF) yang kapasitasnya hanya 165.000 bph.

Muliawan pun mengakui puncak produksi Blok Cepu hanya 165.000 bph tahun depan. Ini sesuai dengan rencana pengembangan (POD) Lapangan Banyu Urip yang telah disetujui Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). “Sampai saat ini belum ditemukan tambahan (produksi) signifikan di Lapangan Banyu Urip,” ujar dia. (Baca: Pemerintah Upayakan Produksi Blok Cepu Stabil 165.000 Barel)

Meski sudah memprediksi target lifting tahun depan sulit tercapai, SKK Migas belum mau merevisi target lifting tersebut. Muliawan masih optimistis, lifting tahun depan bisa digenjot sampai 830.000 bph. Dia berharap train B di Blok Cepu sudah dapat beroperasi dalam waktu dekat. Sehingga puncak produksi Blok Cepu bisa terjadi akhir Januari 2016.

Sementara itu, ExxonMobil selaku operator dari Blok Cepu mengumumkan hingga pertengahan Desember 2015, produksi minyak dari proyek Banyu Urip di Bojonegoro, Jawa Timur sudah lebih dari 130.000 bph. Angka ini meningkat dari sebelumnya yang hanya di atas 80 ribu bph.  Peningkatan ini seiring dengan dimulainya produksi dari CPF. 

Lapangan Banyu Urip diharapkan dapat menghasilkan 450 juta barrel minyak selama masa operasi proyek. Pada puncak produksinya akan menghasilkan sekitar 20 persen dari target produksi minyak nasional 2016. 

Selama 10 tahun terakhir, realisasi lifting minyak memang tidak pernah mencapai target. Bahkan terus menurun dari 1 juta barel di 2004, menjadi 783.000 barel per hari per September 2015. Sampai dengan akhir tahun, SKK Migas memperkirakan angka lifting minyak hanya berada pada kisaran 790.000 bph. Padahal dalam APBN Perubahan 2015, target lifting ditetapkan sebesar 825 ribu bph. (Baca: Demi Target Lifting, SKK Migas Minta KKKS Lepas Stok Minyaknya)

Menurut Dewan Penasehat Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto harga minyak memang berpengaruh terhadap lifting minyak. Namun, hal ini seharusnya tidak bisa dijadikan alasan lifting sulit tercapai. Target lifting tercapai atau tidak tergantung dari manajemen proyek yang dilakukan pemerintah.

Pemerintah, kata dia, harus bisa merencanakan proyek migas secara matang. Setelah perencanaan selesai, pemantauan proyek tetap harus dilakukan. “Apakah proyek tersebut sesuai dengan jadwal.  Kalau sudah sesuai jadwal, apa produksinya sesuai dengan rencana,” kata dia kepada Katadata, Kamis (17/12).

Untuk mengejar target lifting, pemerintah juga bisa melakukan berbagai terobosan. Tidak hanya fiskal, pemerintah juga bisa memberikan insentif nonfiskal, seperti kemudahan perizinan dan pembebasan lahan. Pembebasan lahan ini sangat penting agar proyek migas dapat berjalan sesuai dengan jadwal. Apalagi, hal ini yang paling sering dikeluhkan kontraktor migas. (Baca: Lifting Tak Tercapai, Penerimaan Negara Hanya US$ 13,2 Miliar)