KATADATA - Kasus dugaan pelanggaran kode etik kali ini benar-benar membuat Mahmakah Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat (MKD) sibuk. Setelah menggelar serangkaian sidang pada Rabu hingga Senin lalu, hari ini Mahkamah meminta rekaman asli percakapan segitiga antara Ketua DPR Setya Novanto, pengusaha minyak Muhamad Riza Chalid, dan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsuddin ke Kejaksaan Agung.
“Sesuai keputusan rapat internal, kami hari ini akan menemui Jaksa Agung untuk meminta barang bukti orisinal dalam bentuk handphone,” kata Wakil Ketua Mahkamah Kehormatan Junimart Girsang sebelum meninggalkan gedung DPR, di Jakarta, Kamis, 10 Desember 2015. (Baca juga: Dituding Setya Bersaksi Palsu, Sudirman: Lihat Saja Siapa yang Bohong!).
Sidang Mahkamah bermula dari laporan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said, pada pertengahan bulan lalu, yang mengadukan Setya Novanto karena dinilai mengintervensi perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia. Upaya Setya cawe-cawe ini terungkap melalui rekaman pertemuan Setya dengan Reza Chalid dan Maroef di Pacific Place pada 8 Juni 2015. Pertemuan tersebut merupakan ketiga kalinya mereka berkumpul yang diprakarsai oleh Setya.
Dengan rentetan kejadian itu, Sudirman menganggap tindakan Setya bukan saja melanggar tugas dan tanggung jawab seorang anggota Dewan mencampuri eksekutif, tetapi juga mengandung unsur konflik kepentingan. Lebih tidak patut lagi tindakan ini melibatkan pengusaha swasta dan mencatut nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Atas pengaduan ini, Mahkamah menggelar sidang dengan saksi Sudirman Said pada Rabu pekan lalu dan hari berikutnya memeriksa Maroef Sjamsuddin. Kedua sidang berjalan secara terbuka. Awal pekan ini, giliran Ketua DPR Setya Novanto yang dipanggil. Sayang, pengadilan tersebut tertutup.
Semestinya, masih ada satu saksi kunci lagi yang akan diperiksa, yakni Riza Chalid. Walau telah dijadwalkan hadir bersama Maroef, saudagar itu tak kunjung datang. Rupanya, Mahkamah kesulitan melacak keberadaan tokoh yang kerap dikaitkan dengan bisnis tak sedap dalam perdagangan minyak tersebut. Bahkan, mereka menyatakan bingung mesti menyerahkan ke mana surat panggilan tersebut.
Alhasil, setelah rapat internal, Mahkamah Kehormatan memutuskan akan fokus pada alat bukti. Karena itulah mereka mendatangi Kejaksaan Agung. Sekitar pukul 10.25 tadi pagi, rombongan pimpinan MKD -Surrahman Hidayat, Junimart Girsang, dan Kahar Muzakir- menemui Jaksa Agung HM. Prasetyo, meminta rekaman asli. Alat bukti ini akan dibawa ke Markas Besar Polri untuk dilakukan uji forensik.
Sebelumnya, Mahkamah Kehormatan dianggap gagal meminta alat bukti tersebut. Namun, Ketua MKD Surrahman Hidayat menepis anggapan tersebut. Dia beralasan, ketika itu HM Prasetyo memang belum memilikinya. “Jika tidak dapat hari ini akan kita rapatkan lagi secara internal, atau rapat pimpinan saja,” ujar Surrahman.
Selain melakukan uji forensik, Mahkamah memiliki dua agenda sebelum memutuskan nasib Setya, yaitu meminta keterangan saksi tambahan, termasuk Riza Chalid. “Reza tetap akan kami panggil. Dia harus datang,” kata Junimart. Bila tidak datang, “Kami akan panggil paksa dengan bantuan polisi.” (Baca: Tanpa Alasan Jelas, Sidang Setya Novanto Diundur).
Setelah pemeriksaan semua saksi dirasa cukup, MKD akan melakukan konsinyering untuk mencocokan keterangan para saksi dengan pihak terlapor, yakni Setya. Baru setelah itu, MKD menggelar rapat pleno untuk memutuskan apakah pelanggaran Setya tergolong berat, sedang, atau ringan. Namun, bisa jadi MKD mengambil keputusan mengejutkan dengan menutup kasus ini jika menganggap tidak pelanggaran.
Hingga tulisan ini diturunkan, Mahkamah Kehormatan dikabarkan belum berhasil mendapat rekaman asli dan alat rekamnya. Sejumlah wartawan di kompleks DPR pun menanti para pimpinan MKD yang akan menggelar rapat internal atas kelanjutan kasus tersebut. (Baca pula: Jusuf Kalla: Freeport, Skandal Terbesar di Indonesia).
Yang pasti, dalam perkara ini, Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Arminsyah mengatakan Setya Novanto bisa dijerat dengan Pasal 12 huruf e dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. “Ini kan di depan mata kita semua apa yang terjadi, dan kami cermati ada indikasi mufakat yang merugikan. Mufakat terkait tindak pidana korupsi, kita bisa tindak,” kata Arminsyah Senin lalu.
Bila mengacu pada Pasal 12 huruf e, Setya Novanto dapat dipidana dengan penjara seumur hidup. Atau, pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun. Adapun pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak satu miliar rupiah. Pasal tersebut kemudian menjelaskan kategori subjek pelaku.
“Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.” (Baca: Kejaksaan: Setya Novanto Bisa Dijerat Undang-undang Korupsi).
Adapun pada Pasal 3 berbunyi, “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama dua puluh tahun.” Sementara itu, si pelaku akan dikenai denda paling sedikit Rp 50 juta dan paling banyak satu miliar rupiah.