KATADATA - Pemerintah berencana mengatur formulasi harga gas, agar bisa lebih murah diterima konsumen. Namun rencana ini tidak disambut baik oleh produsen gas. Pengaturan harga di tingkat hilir akan berdampak buruk pada usaha gas di sektor hulu.
"Jangan beranggapan bahwa pengaturan harga gas oleh pemerintah akan menciptakan iklim investasi yang baik. Itu sebenarnya tidak," kata Direktur Indonesian Petroleum Association (IPA) Sammy Hamzah dalam konferensi pers di Hotel Dharmawangsa Jakarta, Rabu (2/12). (Baca: Pemerintah Bentuk Tim Untuk Formulasikan Penurunan Harga Gas)
Dia mengatakan bisnis hulu gas memang bisa menghasilkan keuntungan yang tinggi, tapi risiko usahanya pun tinggi. Jika harga gas sudah dipatok di tingkat hilir, maka margin keuntungannya pun dibatasi. Padahal dengan risiko yang tinggi, produsen gas bisa saja merugi.
Produsen gas tidak sepakakat adanya intervensi pemerintah untuk menurunkan harga. Sammy mencontohkan tiga tahun lalu harga gas di Amerika Serikat mencapai US$ 12 per juta british thermal unit (mmbtu), saat ini hanya US$ 3 per mmbtu. Penurunan ini bukan karena adanya intervensi dari pemerintah, melainkan karena penemuan gas nonkonvensional, yakni shale gas. (Baca: Keinginan Pemerintah Menurunkan Harga Gas Sulit Direalisasikan)
Pemerintah Amerika tidak melakukan intervensi dengan pengaturan harga. Yang dilakukan adalah memberikan insentif dan stimuli kepada perusahaan agar lebih giat melakukan eksplorasi. “Indonesia, negara dengan kekayaan sebesar ini jika bisa menggerakan eksplorasi dan produksi gas sebanyak mungkin, maka harga otomatis turun,” ujarnya.
Belum jelas bagaimana formulasi perhitungan harga gas yang akan diatur pemerintah nantinya. Ini akan diatur dalam revisi Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) 37 tahun 2015 tentang tata kelola gas, yang baru beberapa waktu lalu diterbitkan.
Menteri ESDM Sudirman Said mengatakan pemerintah berupaya menurunkan harga gas hingga 30 persen. Upaya ini dilakukan mengurangi penerimaan dari sektor gas dan mengintegrasikan dua badan usaha distribusi gas milik negara. (Baca: Kementerian ESDM Klaim Harga Gas di Medan Bisa Turun US$ 2,5)
"Integrasi bisnis antar PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk. dengan PT Pertamina Gas, anak usaha PT Pertamina (persero), merupakan hal yang akan berdampak besar bagi efisiensi bisnis gas,” kata Sudirman.
Saat ini konsep penggabungan dua perusahaan tranmisi dan distribusi gas ini masih dibahas. Sudirman mengatakan agar merger dua BUMN tersebut dapat terlaksana maka diperlukan kajian komprehensif, terutama jika berorientasi pada dampak makro.
Dengan adanya penggabungan ini, kebijakan open access akan segera berjalan. Kebijakan open access sudah diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 19 Tahun 2009. Permen tersebut mewajibkan pipa transmisi dan pipa distribusi yang tersedia di suatu wilayah, untuk dimanfaatkan bersama. (Baca: Tanpa Infrastruktur, Swasta Tak Dapat Alokasi Gas)
Sejak diberlakukannya permen tersebut hingga saat ini, open access tidak pernah bisa berjalan. Makanya harga gas tidak pernah bisa kompetitif. Padahal hal ini bisa langsung terasa dampaknya pada harga gas yang bisa lebih kompetitif.
Menurut Sudirman, selain integrasi PGN dan Pertagas, penurunan harga gas hingga 30 persen juga dilakukan dengan mengurangi jatah penerimaan negara (government take) di tingkat hulu. Di sisi midstream dan distribusi, pemerintah akan mengatur margin keuntungan, sehingga biayanya dapat diterapkan secara adil. Pembentukan badan penyangga gas nasional akan menjamin penyediaan dan penurunan harga gas, dengan sistem yang lebih sederhana.