KATADATA - Target pemerintah dalam mencapai lifting atau produksi siap jual minyak 825 ribu barel per hari rasanya sulit tercapai tahun ini. Imbasnya, realiasi penerimaan negara baru di posisi 88,2 persen atau US$ 13,22 miliar (year to date) dari target awal US$ 14,99 miliar. “Jadi tahun ini tidak bagus,” kata Kepala Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas (SKK Migas) Amien Sunaryadi di Gedung DPR Jakarta, Senin, 30 November 2015.
Terhitung sejak tiga hari lalu, data SKK Migas mencatat realisasi lifting minyak baru menyentuh level 777 ribu barel perhari, atau 94,3 persen dari target di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2015. Sedangkan lifting gas baru mencapai 6,597 mmscfd dari sasaran 6,835 mmscfd. Angka ini lebih tinggi dari realisasi lifting minyak yakni 95,5 persen.
Menurunnya penerimaan tersebut, selain faktor produksi yang tak sesuai harapan, juga dipicu oleh harga emas hitam ini yang sedang terpuruk. Sejak pertengahan 2014 minyak diperdagangkan melorot ke bawah US$ 100 per barel. Memasuki awal tahun ini, nilainya makin merosot hingga US$ 80 per barel, hingga kini terjerembab di kisaran US$ 45 per barel. (Baca: Pemerintah Upayakan Produksi Blok Cepu Stabil 165.000 Barel).
Rupanya, bukan dua faktor itu saja yang menghantui industri minyak dan gas. Iklim investasi juga menurunan lantaran banyak aturan perpajakan yang menjadi kendala investor. Untuk meningkatkan lifting secara konsepsional, kata Amien, satu-satunya jalan ialah dengan melakukan operasi ketika ditemukan cadangan baru. “Banyaknya disinsentif membuat investor terdorong tidak melakukan eksplorasi,” sebut Amien.
Karena itu, Amien meminta Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat merancang RUU Migas, yang sudah masuk Program Legislasi Nasioanl, dibuat lex spesialis agar dapat mengurangi hambatan investor dalam masalah perpajakan. Untuk penggantian biaya eksplorasi atau cost recovery, SKK Migas hanya mendapat US$ 11,4 miliar dari alokasi APBN-P 2015 yang mencapai US$ 14,1 Miliar. Akibatnya, penerimaan migas pun kecil seiring biaya produksi yang berkurang.
Namun Amien optimistis tahun depan lifting minyak bisa naik mencapai 823 ribu barel per hari dari tahun ini. Sebelumnya, realisasi tahun lalu, lifting minyak hanya 797.550 barel per hari dari target APBN-P 2014 sebesar 818.000 barel per hari.
Untuk diketahui, produksi siap jual minyak bumi dari Lapangan Banyu Urip di Blok Cepu, diperkirakan meleset lagi dari target produksinya. Padahal, Blok Cepu menjadi andalan pemerintah untuk mencapai total lifting minyak dalam APBN Perubahan 2015 sebesar 825 ribu bph, juga dari sasaran SKK Migas yang mematok angka 812 ribu bph.
Kendala yang dihadapi ExxonMobil Indonesia sebagai operator Blok Cepu adalah masa transisi pengoperasian fasilitas produksi utama atau Central Production Facility (CPF), dari sebelumnya fasilitas Early Oil Expansion dan Early Production Facility. Dampaknya, menurut Vice President Public and Government Affairs ExxonMobil Erwin Maryoto, Exxon mengurangi sementara tingkat produksi Lapangan Banyu Urip per 26 November 2015. Tujuannya, untuk memastikan keamanan proses start-up fasilitas CPF tersebut.
Sebagai bagian dari proses start-up, minyak yang saat ini diproduksi dari Tapak Sumur B harus dihentikan sementara. Nantinya, minyak dialirkan lagi dan diproses pada CPF. Kegiatan tersebut baru rampung sekitar dua pekan. Selama pengurangan tingkat produksi, Lapangan Banyu Urip akan menghasilkan sekitar 40 ribu bph. Selanjutnya, jumlah produksi akan meningkat lebih dari 130 ribu bph hingga mencapai puncak produksi. “Kami akan bekerja sama dengan SKK Migas untuk memastikan proses start-up ini berlangsung aman dan efisien,” kata Erwin kepada Katadata, Kamis pekan lalu.