KATADATA - Perusahaan migas non-konvensional, khususnya gas metana batu bara (coal bed methane/CBM) memutuskan untuk berhenti beroperasi saat ini. Mereka menunggu kepastian janji pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan baru terkait sistem kontrak kerja sama migas non-konvensional.

“Banyak perusahaan yang menyetop kegiatan eksplorasi CBM-nya seperti Medco, Vico, Sugico, Dart, Ephindo,” kata Anggota Komite Non Konvensional Indonesia Petroleum Association (IPA) Moshe Rizal Husin.

Meski menghentikan aktivitas operasionalnya, perusahaan-perusahaan tersebut tidak lantas menutup kegiatan usahanya. Penghentian operasi ini hanya sementara hingga pemerintah mengeluarkan terkait sistem fiskal yang baru untuk migas non-konvensional. Aturan yang ada saat ini dianggap kurang menarik, bahkan cenderung merugikan kontraktor.

Saat ini, sistem kontrak kerjasama dan aturan fiskal untuk migas non-konvensional disamakan dengan migas konvensional. Padahal, kata Moshe, bisnis migas non-konvensional seperti CBM masih baru dan membutuhkan banyak uji coba (trial and error) agar bisa berhasil. Berbeda dengan migas konvensional yang sudah puluhan tahun ada, sehingga sistemnya pun seharusnya dibedakan.

Hingga saat ini kontraktor CBM telah mengeluarkan investasi hingga US$ 700 juta dalam kegiatan eksplorasi. Sementara risiko yang ada di industri ini sangat tinggi, mengingat belum ada yang berhasil menggarap proyek CBM sampai berproduksi komersial. Jika eksplorasinya gagal, dana yang dikeluarkan bisa hilang, pemerintah pun tidak bisa menanggung kerugian dari kegiatan tersebut.

(Baca: Perusahaan Migas Non Konvensional Ancam Hengkang Dari Indonesia)

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memang berencana merevisi Peraturan Menteri ESDM Nomor 38 tahun 2008. Revisi ini akan mengakomodasi bentuk kontrak kerjasama CBM yang baru dan peralihan terhadap kontrak eksisting yang sedang berjalan. Kontraktor migas non-konvensional diberikan pilihan untuk menggunakan sistem kontrak kerja sama selain kontrak bagi hasil produksi (PSC).

Skema kerja sama selain PSC yang baru ini adalah sistem Gross PSC Sliding Scale. Skema yang baru ini sudah sempat dibahas Kementerian ESDM bersama pemangku kepentingan di industri migas non-konvensional sebelumnya.

Sistem Gross PSC Sliding Scale adalah pendapatan kotor yang dihasilkan dari suatu wilayah kerja langsung dibagi antara pemerintah dan pelaku usaha tambang CBM. Jadi, tidak ada lagi istilah cost recovery dalam kontrak kerjasama migas non-konvensional. Sistem ini menguntungkan pemerintah karena tidak perlu lagi mengganti biaya yang dikeluarkan oleh kontraktor.

“Permennya tinggal ditandatangani oleh Menteri ESDM,” ujar Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM I.G.N. Wiratmaja. Kementerian berharap dengan keluarnya aturan yang baru tersebut, bisa membuat industri migas non konvensional berkembang lebih cepat.

(Baca: Aturan Rampung, Pemerintah Lelang Blok Nonkonvensional Pekan Depan)

Selama ini pengembangan migas non konvensional seperti CBM dan shale gas, berjalan lambat. Saat ini sudah ada 54 proyek CBM, tapi hanya sedikit yang masih dikembangkan oleh kontraktor. Sedangkan sisanya seperti ‘mati suri’, dan banyak kontraktor yang mengancam akan hengkang dari Indonesia. Bahkan, hingga saat ini belum ada satu pun investor tertarik menggarap proyek shale gas.

Padahal migas non-konvensional sangat penting dikembangkan di Indonesia yang sudah hampir mengalami krisis energi. Data Kementerian ESDM menyebut potensi migas non-konvensional sebenarnya lebih besar dari yang konvensional. Potensi shale gas Indonesia diperkirakan mencapai 574 triliun kaki kubik (TCF), lebih besar jika dibandingkan CBM yang mencapai 453,3 TCF dan gas konvensional yang hanya sebesar 153 TCF.

Reporter: Manal Musytaqo