KATADATA - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said mengaku sudah menerima rekomendasi dari Komite Eksplorasi Nasional (KEN) yang mengusulkan pencabutan Peraturan Pemerintah Nomor 79 tahun 2010. Beleid ini mengatur tentang biaya operasi yang dapat dikembalikan dan perlakukan pajak penghasilan (PPh) di bidang usaha hulu minyak dan gas bumi (migas).
Selama empat bulan komite tersebut bekerja, sudah menunjukkan kemajuan yang baik. Namun, Sudirman belum mau menjelaskan keputusan atau langkah yang akan diambil oleh pemerintah dalam menanggapi usulan pencabutan PP Nomor 79 tahun 2010 itu. “Ada suatu progress sangat baik. Dokumen (rekomendasi KEN) sudah saya terima. Tapi, pada waktunya akan kami jelaskan (keputusannya) lebih detail karena (dokumennya) lumayan tebal,” katanya di Jakarta, Jumat (9/10).
Ketika didesak lebih jauh, Sudirman enggan menyebutkan kemungkinan mengganti skema cost recovery dalam perjanjian kontrak pengelolaan minyak dan gas bumi (migas). Yang jelas, pemerintah akan terus melakukan reformasi dan deregulasi kebijakan di sektor migas agar menjadi lebih baik. "Kalau itu (pencabutan cost recovery) jalan terbaik, kami akan jalankan," imbuhnya.
(Baca: KEN Rekomendasikan Pencabutan Aturan Cost Recovery dan PPh Hulu Migas)
Seperti diberitakan sebelumnya, KEN merekomendasikan kepada pemerintah untuk mencabut PP No. 79 Tahun 2010 karena dianggap kontraproduktif terhadap kegiatan eksplorasi migas. Ujung-ujungnya, beleid itu bisa menghambat keinginan pemerintah untuk memacu produksi migas di masa depan. “PP itu menjadi sebuah momok investasi eksplorasi migas di Indonesia,” kata Ketua KEN Andang Bachtiar dalam siaran pers KEN, Selasa lalu (6/10).
Aturan biaya operasi yang dapat dikembalikan dan PPh hulu migas telah membatasi ruang gerak pemerintah untuk membuat kontrak berdasarkan wilayah kerja yang akan menunjang kegiatan eksplorasi secara masif di Indonesia. Alhasil, daya tarik eksplorasi migas di Indonesia berkurang di mata para kontraktor migas.
Apalagi, klausul dalam PP tersebut sebenarnya sudah diatur di bawah kewenangan SKK Migas. Tak cuma itu, beleid tersebut juga menghilangkan prinsip assume and discharge yang merupakan ciri khas dari sistem kontrak bagi hasil atau production sharing contract (PSC). Padahal, prinsip biaya yang bisa langsung diklaim (reimburse) tanpa melalui mekanisme cost recovery tersebut selama ini menjadi daya tarik sistem PSC bagi investor.
Pelaku industri migas menyambut baik usulan KEN. Menurut Dewan Direksi Indonesia Petroleum Association (IPA) Sammy Hamzah, aturan itu memang menjadi penghalang terbesar investasi di sektor hulu migas.
Selain itu, pelaku industri sejak awal memang meminta pemerintah untuk mencabut aturan tersebut. Sebab, dianggap bertentangan dengan kontrak kerjasama migas antara pemerintah dan kontraktor kontrak kerjasama (KKKS). "Kami menyambut baik usulan ini karena dapat menggairahkan kembali investasi," kata dia kepada Katadata.
Sekadar informasi, rekomendasi KEN itu sejalan dengan amanat yang diembannya. Dibentuk pada 12 Juni lalu, KEN mengemban tanggung jawab untuk meningkatkan rasio pengganti cadangan migas terhadap produksi atau Reserve Replacement Ratio (RRR) sebesar lebih 75 persen dalam lima tahun ke depan. Caranya dengan menemukan cadangan-cadangan migas baru dan mempercepat proses penemuan cadangan migas yang semula 6-10 tahun menjadi 3-5 tahun.