KATADATA ? Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan tidak mau ikut campur masalah pajak yang sedang dihadapi kontraktor kontrak kerjasama (KKKS) minyak dan gas bumi (migas). Padahal, penolakan Kementerian Keuangan mencairkan klaim pembayaran kembali (reimbursement) pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) senilai Rp 1,8 triliun bisa mengganggu arus kas kontraktor migas.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM I Gusti Nyoman Wiratmaja Puja juga enggan memberikan pernyataan apapun terkait masalah pajak ini. Urusan ini diserahkan sepenuhnya kepada kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) dengan Kementerian Keuangan. "PPN itu kewenangan Kementerian Keuangan. Kami supporting saja," kata dia di Gedung Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan, Jakarta, Rabu (23/9).
(Baca: Pemerintah Tolak Kembalikan PPN Kontraktor Migas Rp 1,8 Triliun)
Masalah pajak ini bermula setelah Kementerian Keuangan mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 218 pada 5 Desember 2014, tentang reimbursement PPN dan PPnBM sektor migas. Ada beberapa PPN dan PPnBM yang tidak bisa dibayarkan kembali oleh pemerintah. Kementerian Keuangan pun memberikan masa transisi 60 hari, agar KKKS bisa mengajukan klaim dengan mengacu pada aturan lama, yakni PMK 64/2005.
KKKS pun beramai-ramai mengajukan klaim ini melalui Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), yang kemudian melanjutkannya ke Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan. Klaim yang masuk ke Kementerian Keuangan mencapai Rp 2,8 triliun, tapi yang bisa dicairkan hanya Rp 1 triliun.
Direktur Penerimaan Bukan Pajak Kementerian Keuangan Anandy Wati mengatakan pihaknya sudah melakukan pekerjaannya sesuai prosedur. Kementerian tidak bisa mencairkan klaim sebesar Rp 1,8 triliun, karena pengajuannya telah melewati batas waktu yang telah ditentukan. ?Kami tidak bisa proses itu,? kata dia.
Mengenai PPN ini sebenarnya bukan hanya permasalahan reimbursement. Pelaku usaha migas, mempermasalahkan pungutan pajak yang tidak ada ketentuannya dalam kontrak yang mereka miliki.
(Baca: Klaim PPN Ditolak, Pelaku Migas Minta Pemerintah Hormati Kontrak)
Dewan Penasehat Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto mengatakan sebenarnya dalam kontrak bagi hasil produksi (production sharing contract/PSC) yang ditandatangani oleh kontraktor migas dan pemerintah, tidak menyebutkan ketentuan adanya pajak yang harus dibayarkan kontraktor. Namun, Undang-Undang (UU) Migas tahun 2001 menyebut ketentuan lain. Dalam pasal 31 disebutkan bahwa pelaku usaha migas wajib membayar pajak sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku.
Setahun sebelumnya, Undang-Undang Nomor 18 tahun 2000 sudah menetapkan industri migas dikenakan PPN. Ketentuan ini diperkuat dengan (PMK) 11 tahun 2005 tentang penunjukan kontraktor migas untuk memungut, menyetor, dan melaporkan PPN dan PPnBM. PPN yang diatur dalam PMK tersebut adalah sebesar 10 persen dari dasar pengenaan pajak.
Menurut Pri pasal 31 dalam UU Migas yang mewajibkan perusahaan migas membayar pajak menjadi rancu. Karena kontrak migas dilakukan bukan dengan badan usaha, tapi dengan pemerintah melalui Satuan Kerja Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas). ?Yang berkontrak dengan KKKS bukan perusahaan (SKK MIGAS). Itu membawa efek KKKS menjadi subjek pajak secara langsung,? ujarnya.