KATADATA ? Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said lebih percaya dengan rekomendasi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) terhadap rencana pengembangan Blok Masela. Sikapnya terhadap pengembangan blok kaya gas bumi di Laut Arafura tersebut berseberangan dengan pendapat Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli.
Menurut Sudirman, SKK Migas telah merekomendasikan skema offshore (di laut) menggunakan fasilitas kilang terapung LNG (FLNG) di Blok Masela lebih hemat dibandingkan skema onshore (di darat) yang memakai jaringan pipa. "Yang jelas SKK Migas rekomendasikan offshore. Saya percaya pada sistem dari SKK Migas," katanya di Gedung Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Jakarta, Rabu (23/9).
Selain lebih hemat, pembangunan FLNG dapat menumbuhkan industri maritim di dalam negeri karena turut mendukung industri perkapalan. "Mesti diingat, kita juga punya visi menumbuhkan industri maritim. FLNG memberi kesempatan industri perkapalan dan kapasitas nasional akan diserap besar-besaran," katanya.
(Baca: Bantah Rizal Ramli soal Blok Masela, SKK Migas: FLNG Lebih Unggul)
Pada Selasa lalu (22/9), Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi menyatakan belanja modal (capital expenditure) yang dibutuhkan untuk membangun pipa dari sumur gas ke kilang di darat mencapai US$ 19,3 miliar. Sementara dana yang dibutuhkan untuk membangun FLNG sekitar US$ 14,8 miliar dengan kapasitas produksi 7,5 juta ton per tahun (MTPA).
Sehari sebelumnya, Rizal menggelar konferensi pers yang mempersoalkan persetujuan revisi rencana pengembangan (Plan of Development / PoD) Blok Masela yang diajukan oleh operator blok tersebut, Inpex Masela. Ia meminta Kementerian ESDM dan SKK Migas mengkaji ulang PoD tersebut.
(Baca: Rizal Ramli Minta Pengembangan Blok Masela Dikaji Ulang)
Berdasarkan hitungan Rizal, pembangunan pipa sepanjang 600 kilometer lebih menguntungkan dibandingkan FLNG yang memakan biaya US$ 19,3 miliar. Selain investasinya lebih murah, pembangunan pipa ke Kepulauan Aru akan turut membantu pengembangan wilayah tersebut.
"Kalau FLNG lebih murah. Itu terbalik angka yang dipakai (Rizal)," tukas Amien. Selain itu, biaya operasional pipa lebih tinggi dari FLNG. Operasional pipa gas membutuhkan biaya sekitar US$ 356 juta per tahun sedangkan FLNG hanya US$ 304 juta.
Menurut Amien, skema FLNG juga lebih tepat untuk pengembangan Blok Masela karena dapat mendatangkan beberapa efek ganda. Antara lain membangkitkan industri galangan kapal di kawasan timur Indonesia, termasuk fabrikasi modul-modul dan kapal LNG. Hal ini sejalan dxengan program pemerintah untuk mengembangkan industri kapal di dalam negeri.
Di sisi lain, pengembangan wilayah Kepulauan Aru seperti keinginan Rizal Ramli, juga bisa dilakukan menggunakan opsi FLNG. Dengan membangun FLNG, gas bisa dipasok menggunakan kapal mini LNG.
Adapun pembangunan fisik atau konstruksi FLNG dan pipa membutuhkan waktu yang relatif sama. Pembangunan konstruksi FLNG memakan waktu 50 bulan. Sedangkan pipa 45 bulan, namun belum memperhitungkan waktu untuk pembebasan lahan.