KATADATA ? Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menilai sistem baru kontrak kerjasama (KKS) migas yang akan diterapkan pemerintah (gross production split), akan membuat aktivitas kontraktor migas semakin kurang terkendali. Pemerintah bakal kesulitan mengawasi industri migas.
Kepala Divisi Pengendalian Program dan Anggaran Bidang Pengendalian Perencanaan SKK Migas Benny Lubiantara mengatakan, sistem gross production split berarti meniadakan mekanisme pengembalian biaya investasi (cost recovery) dari pemerintah. Dengan begitu, pemerintah tidak bisa lagi melakukan pengawasan kepada kontraktor kontrak kerja sama (KKKS).
Sementara itu dengan sistem cost recovery, pemerintah bisa mendorong kontraktor migas untuk memprioritaskan kegiatan-kegiatan yang memberikan efek berganda pada industri domestik dan masyarakat. Salah satunya mengawasi kewajiban penggunaan produk domestik dalam kegiatan operasi migas dan menolak usulan kegiatan yang tidak relevan alias unnecessary projects. Jika penggunaan komponen dalam negeri tidak terkontrol maka otomatis impor akan membengkak.
"Mekanismenya jadi lebih tidak terlalu terkontrol. KKKS pasti akan memilih yang lebih murah. Misalnya barang atau jasa dari perusahaan Cina yang lebih murah, saya pasti pakai produk dari Cina semua," kata Benny kepada Katadata, Jumat (7/8). Kegiatan yang tidak relevan bisa saja dibebankan sebagai biaya mereka lantaran kurangnya pengawasan.
Selama ini SKK Migas telah menemukan beberapa kegiatan yang tidak penting dalam penyusunan rencana kerja dan anggaran perusahaan. Salah satu contohnya adalah saat melakukan pekerjaan yang hanya memerlukan pipa dengan standar biasa, tapi dilakukan dengan standar yang lebih canggih. Tujuannya untuk mengakomodasi peralatan dari negara lain.
Jika kegiatan tersebut tidak diawasi, akan membuat ongkos atau biaya perusahaan semakin tinggi. Akibat lanjutannya, pendapatan perusahaan makin kecil, sehingga pajak yang diterima oleh negara menjadi lebih kecil lagi. "Biaya akan turun (dengan sistem gross production split) jadi ilusi. Karena tidak ada kontrol, maka orang akan bertindak seenaknya," tukasnya.
Di sisi lain, Benny menolak perbandingan dengan negara-negara lain yang menggunakan sistem gross split, seperti Amerika Serikat dan Eropa. Negara-negara tersebut dinilai telah mapan dari segi industri, masyarakat, dan jasa pendukungnya sehingga tidak perlu lagi campur tangan pemerintah untuk menggunakan produk dalam negeri. Saat ini, menurut dia, sistem gross split hanya cocok untuk industri migas non-konvensional, seperti gas metana batubara (CBM).
Sebelumnya, seperti diberitakan Katadata, pengusaha justru mendukung rencana penerapan sistem gross split ini. Dewan Direksi Indonesian Petroleum Association (IPA) Sammy Hamzah menilai skema baru tersebut akan menghemat waktu dan biaya. Ketiadaan sistem kontrol oleh SKK Migas dan cost recovery, akan membuat proyek migas bisa digarap lebih cepat.
Menurut dia, sistem kontrak bagi hasil (production sharing contract/PSC) yang berlaku saat ini membuat kontraktor membutuhkan waktu hingga 13 tahun sejak tanda tangan kontrak sampai dengan produksi perdana. Sedangkan dengan skema baru, dia memperkirakan, hanya butuh waktu enam tahun sampai delapan tahun. Otomatis hal ini membuat biaya yang dikeluarkan pun lebih kecil. "Pemerintah seharusnya ikut untung, terutama seluruh risiko biaya ditanggung sepenuhnya 100 persen oleh investor dan perdebatan selama ini tentang cost recovery akan sirna atau tidak ada lagi," kata Sammy.