KATADATA ? Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengusulkan untuk tidak lagi memberikan pengembalian biaya operasional (cost recovery) untuk kontrak blok minyak dan gas bumi yang diperpanjang.
Ketua Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Kardaya Warnika meminta usulan ini perlu dimasukkan dalam Rancangan Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi (RUU Migas). Menurut dia pemberian cost recovery untuk blok migas yang sudah berproduksi melenceng dari konsep. Blok migas yang sudah berproduksi, sudah terbukti memiliki cadangan minyak dan gas bumi.
"Seharusnya cost recovery diberikan untuk wilayah kerja baru yang memiliki resiko besar untuk penemuan minyak dan gas. Bukan untuk yang sudah berproduksi dan ingin perpanjang," kata dia kepada Katadata, Kamis (16/4).
Sebagai gantinya, Kardaya mengajukan sistem bagi hasil secara kotor dalam kontrak bagi hasil (production sharing contract/PSC). Sistem bagi hasilnya dihitung sebelum memasukkan komponen cost recovery.
Sekretaris Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) Gde Pradnyana sepakat dengan usulan untuk tidak lagi memberikan cost recovery untuk blok migas yang sudah berproduksi. Dia juga setuju dengan sistem bagi hasil kotor.
Menurut dia lapangan yang sudah berproduksi atau sudah tua memerlukan biaya produksi yang cukup tinggi. Jika itu dimasukkan ke cost recovery dia khawatir penerimaan negara akan tergerus.
"Itu untuk jaga penerimaan," ujar dia.
Cost recovery memang selalu menjadi perdebatan banyak pihak. Bahkan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melaporkan adanya kerugian negara atas adanya pelanggaran mekanisme cost recovery.
Dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) dan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) semester II-2014 BPK menyebut ada ketidakpatuhan yang dilakukan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) terhadap ketentuan cost recovery. Hal ini mengakibatkan kekurangan penerimaan negara senilai Rp 6,19 triliun.
Sementara dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015 cost recovery ditetapkan sebesar US$ 16,5 miliar atau sekitar Rp 214,5 triliun.