KATADATA - Beban dan tugas berat akan dihadapi oleh pemerintah baru yang terpilih melalui hasil Pemilihan Umum Presiden pada Juli 2014. Mereka akan menghadapi pekerjaan rumah besar yang ditinggalkan oleh pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono berkaitan dengan sektor energi.
Saat ini, Indonesia sudah berada di ambang krisis minyak. Cadangan minyak bumi yang dimiliki Indonesia sudah tidak lagi memadai, hanya tersisa 14 persen. Dalam tempo 30 tahun, cadangan minyak Indonesia telah merosot 68 persen. Ini adalah penurunan cadangan minyak paling tajam dan cepat di Asia.
Blok-blok besar yang selama ini menjadi andalan produksi minyak Indonesia semakin tua dengan tingkat produktivitas yang menurun. Beragam cara dan teknologi untuk optimalisasi produksi melalui enhanced oil recovery telah dilakukan. Namun, produksi dari sekitar 10 ladang minyak besar yang dikelola oleh perusahaan multinasional tersebut rata-rata menurun tajam.
Sebaliknya, konsumsi minyak Indonesia semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi, peningkatan pendapatan dan permintaan mobil baru. Di saat industri mengurangi ketergantungan pada BBM yang berharga mahal, sektor transportasi justru haus mengkonsumsi minyak. Bahkan, pertumbuhan konsumsi minyak dari sektor transportasi mencapai rata-rata 6 persen per tahun. Akibatnya, transportasi menjadi sektor paling dominan atau melebihi 75 persen konsumsi minyak Indonesia.
Persoalannya, dampak ketimpangan antara produksi dan konsumsi minyak Indonesia yang kian menganga tidak hanya berhenti pada lonjakan impor minyak maupun BBM. Kesenjangan ini telah memberikan dampak lanjutan serius bagi perekonomian negara.
Selain memicu defisit neraca perdagangan, peningkatan konsumsi dan impor minyak dan BBM telah memberatkan fiskal, meningkatkan defisit migas dan defisit neraca perdagangan, membebani cadangan devisa hingga menekan nilai tukar rupiah.
Sebagai gambaran, saat defisit migas mencapai puncaknya pada Juli 2013 yang mencapai minus US$ 1,85 miliar, defisit neraca perdagangan juga mencapai puncak sepanjang sejarah Indonesia, yakni minus US$ 2,3 miliar. Besarnya kebutuhan valas untuk impor migas membuat cadangan devisa terkuras sehingga mencapai level terendah pada Agustus 2013, menjadi US$ 92 miliar. Pada periode itu, kurs rupiah juga terjun bebas hingga 7 persen menjadi rata-rata Rp 10.900 per dolar AS.
Tren kenaikan konsumsi dan penurunan produksi minyak diperkirakan akan berlanjut pada lima tahun mendatang, saat pemerintah baru berkuasa. Peningkatan penjualan mobil sebesar 7 persen per tahun selama periode 2012 - 2018 menjadi pemicu utama peningkatan konsumsi BBM.
Pada saat pemerintah baru berkuasa, Indonesia bukan hanya akan menjadi importir minyak berpengaruh. Laporan Wood Mackenzie pada 2013, bahkan memperkirakan Indonesia akan menjadi importir BBM terbesar di dunia pada 2018 dan penyumbang defisit BBM terbesar di Asia Pasifik. Pada 2019, selisih antara konsumsi dan produksi minyak juga diperkirakan akan mencapai 1 juta barel per hari sehingga impor minyak dipastikan bakal meningkat.
Karena itu, tantangan dan ancaman krisis minyak bakal dihadapi oleh pemerintah baru. Beban berat akibat lonjakan impor minyak dan BBM akan kembali menjadi ancaman serius terhadap neraca perdagangan, neraca pembayaran, cadangan devisa dan nilai tukar rupiah.