Mudik dan pulang kampung merupakan dua hal yang berbeda. Pernyataan Presiden Joko Widodo ini langsung menjadi sorotan warganet. Kata kunci pulang kampung langsung masuk topik terpopuler Twitter di Indonesia pada pagi tadi, Kamis (23/4).
Arus masyarakat yang menuju keluar Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi) sebelum ada larangan mudik adalah kegiatan pulang kampung. “Kalau pulang kampung itu bekerja di Jakarta lalu pulang ke kampung,” kata Jokowi dalam acara Mata Najwa yang disiarkan Trans7 semalam.
Sementara, mudik dilakukan khusus di hari raya Lebaran. Jokowi menekankan kedua hal itu bukan hanya persoalan waktu saja. Di tengah pandemi corona, ia memaklumi langkah orang-orang yang memilih pulang kampung.
“Coba lihat di lapangan, di Jakarta mereka sewa ruangan isi delapan orang. Di sini tidak bekerja, lebih bahaya mana? Tapi pulang kampung sudah disiapkan isolasi oleh desanya,” ucapnya.
Banyak warganet lalu melakukan pengecekan perbedaan mudik dan pulang kampung melalui Kamus Besar Bahasa Indonesia. Menurut KBBI versi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, mudik adalah kata kerja untuk (berlayar, pergi) ke udik (hulu sungai, pedalaman).
Arti yang kedua, masih melansir dari kamus yang sama, mudik adalah kata percakapan untuk pulang ke kampung halaman. Lalu, arti pulang kampung adalah kembali ke kampung halaman; mudik.
(Baca: Dampak Larangan Mudik, 1,5 Juta Supir & Awak Bus Terancam Dirumahkan)
Beda Mudik dan Pulang Kampung Versi BNPB
Keduanya tampak serupa. Tapi pemerintah punya pemahaman sendiri soal ini. Dalam bahan presentasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana, mudik merupakan kegiatan pulang kampung sementara dan akan kembali ke kota. Pulang kampung adalah kegiatan kembali ke kampung dan tidak akan kembali ke kota.
Yang tidak boleh mudik adalah aparatur sipil negara (ASN), TNI-Polri, karyawan badan usaha milik negara atau daerah (BUMN dan BUMD), serta masyarakat berpenghasilan tetap. Kelompok ini harus mengikuti tiga aturan penanganan virus corona, yaitu tidak keluar rumah, tidak berkumpul dan jaga jarak, dan mematuhi pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
Pemerintah mengizinkan pulang kampung bagi pekerja migran Indonesia (PMI) dan yang kena pemutusan hubungan kerja (PHK). Kelompok ini wajib mengikuti protokol yang telah ditetapkan pemerintah, diberi bantuan sosial, keahlian, dan isentif melalui program padat karya tunai, serta program ketahanan pangan.
(Baca: KAI Batalkan Seluruh Perjalanan Kereta dari Jakarta Mulai 24 April)
Protokol pulang kampung yang ditetapkan pemerintah adalah:
- Mengisi formulir keterangan diri dan tujuan kepulangan.
- Memiliki rekomendasi dan izin kepala desa.
- Dipersyaratkan untuk tidak kembali ke kota
- Menjalani pemeriksaan kesehatan
- Menjalani isolasi mandiri.
Sejarah Mudik
Melansir dari Kompas.com, mudik memang identik dengan Lebaran. Dosen Sejarah Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Silverio Raden Lilik Aji Sampurno mengatakan aktivitas ini sudah berlangsung lama. “Awal mudik tidak diketahui kapan. Tapi ada yang menyebut sejak zaman Majapahit dan Mataram Islam,” katanya.
Pada masa itu, kekuasaan Majapahit membentang hingga Sri Lanka dan Semenanjung Malaya. Karena itu, pihak kerajaan pun menempatkan pejabat ke berbagai wilayah kekuasaannya. Ada satu kesempatan para pejabat kemudian boleh mengunjungi kampung halamannya. Peristiwa inilah yang dikaitkan dengan mudik.
“Mudik, menurut orang Jawa, itu artinya mulih dilik. Bisa diartikan pulang dulu. Hanya sebentar untuk melihat keluarga setelah mereka menggelandang,” ucap Silverio. Masyarakat Betawi mengartikan mudik sebagai kembali ke udik. Kata terakhir itu artinya kampung.
(Baca: Anies Perpanjang PSBB di Jakarta hingga 22 Mei, Berlaku Sanksi Tegas)
Pernahkah Pemerintah Melarang Mudik Sebelumnya?
Larangan mudik yang terjadi sekarang bukan pertama kali terjadi. Pada awal 1960an, pemerintah pernah melakukan hal yang sama. Banyak orang ketika itu memilih moda transportasi kereta api unutk kembali ke kampung halaman. Melansir dari Historia.id, tiga daerah utama tujuan pemudik adalah Semarang, Solo, dan Yogyakarta.
Pada 1962 mendekati Lebaran, pemerintah meminta masyarakat membatasi diri bepergian memakai kereta api atau kendaraan bermotor. “Segala tenaga harus dipusatkan untuk perjuangan pembebasan Irian Barat,” tulis koran Kedaulatan Rakjat pada 2 Maret 1962.
Penyelesaian Irian Barat begitu penting. Presiden Sukarno sampai membuat amanat itu usai salah Idul Fitri di halaman Istana pada 8 Maret tahun yang sama. Djawatan Kereta Api, Departemen Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah serta kepala daerah kemudian mengimbau agar masyarakat tidak mudik.
(Baca: Sampai Kapan Mudik Dilarang? Ini Panduan WHO untuk Membuka Karantina)
Situasi ekonomi saat itu memang sedang sulit. Beras menjadi barang langka, pengawai negeri hanya menerima setengah jatah. Keuangan negara terserap untuk urusan keamanan, termasuk menangani pemberontakan PRRI/Permesta dan pembebsan Irian Barat.
Anjuran ini tentu tidak 100% berhasil. Masih ada masyarakat yang ingin mudik. Pemerintah memutuskan untuk membatasi penjualan tiket kereta api. Untuk mendapatkannya pun sulit karena harus memiliki surat permintaan pemesanan karcis. Banyak calo kemudian menjual Spmk dengan harga Rp 100, padahal harga aslinya hanya Rp 1 atau Rp 2 saja.