Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti angkat suara terkait dugaan perbudakan yang dialami oleh anak buah kapal (ABK) asal Indonesia, selama bekerja di kapal ikan Tiongkok.
Melalui akun Twitter-nya, Susi menyebut adanya kejadian seperti perbudakan menjadi dasar mengapa Illegal Unreported Unregulated Fishing (IUUF) harus disikapi secara serius oleh dunia internasional, termasuk Indonesia.
IUUF ini ia katakan merupakan kejahatan lintas negara seperti penangkapan ikan secara ilegal oleh kapal berbendera asing, serta penyelundupan komoditi selain ikan. IUUF juga mencakup kejahatan kemanusian berupa perbudakan modern.
"Begitu seriusnya kejahatan ini sampai Amerika Serikat (AS) di bawah pemerintahan Barrack Obama membentuk Task Force IUUF. Indonesia di bawah Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga sudah membentuk Satgas 115, yang dulu rencananya akan dibuat multi door menangani semua kejahatan di laut," ujar Susi dalam Twitter-nya, Kamis (7/5).
Terkait kejahatan kemanusiaan di tengah laut ini, Susi mengingatkan munculnya kasus Benjina 2015 silam. Kala itu, Satgas 115 menemukan adanya ratusan ABK warga negara asing (WNA) yang diperkerjakan Grup Pusaka Benjina, serta berhasil mengungkap kasus perdagangan manusia yang dilakukan oleh Grup Pusaka Benjina.
Dalam kasus ini, manager lapangan, satu orang petugas keamanan dan lima kapten kapal berkebangsaan Thailand, telah divonis 3 tahun penjara.
(Baca: ABK Indonesia Diduga Alami Perbudakan di Kapal Tiongkok)
Para pelaku divonis melanggar Pasal 185 UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dengan ancaman pidana penjara minimal satu tahun dan maksimal empat tahun dan atau denda minimal Rp 100 juta dan maksimal Rp 400 juta.
Kasus-kasus mengenai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) pada profesi pelaut ini, membuat Susi menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Mekanisme Sertifikasi Hak Asasi Manusia pada Usaha Perikanan. Salah satu isinya, pengusaha harus menjamin asuransi bagi ABK.
Dengan aturan ini setiap kapal yang mengajukan izin tangkap ikan harus memenuhi ketentuan perlindungan ABK. Selain itu, semua perusahaan di sektor perikanan juga wajib menyerahkan laporan detail untuk memastikan kesejahteraan ABK dan awak kapal perikanan lainnya.
Permen KP Nomor 2 Tahun 2017 ini diluncurkan berdasarkan laporan hasil penelitian International Organization of Migration (IOM) tentang Perdagangan Orang di Sektor Perikanan Indonesia yang menyasar pelanggaran HAM di sektor perikanan.
Susi mengatakan setidaknya ada lima temuan dalam laporan mengenai perdagangan orang, pekerja paksa, dan kejahatan perikanan ini. Di antaranya terkait penipuan yang sistematis dan terstuktur dalam praktek rekrutmen dan eksploitasi ABK dari berbagai negara di Asia Tenggara.
Lalu mengenai kasus eksploitasi tenaga kerja, yakni pemaksaan terhadap ABK untuk bekerja lebih dari 20 jam per hari. Kemudian berbagai tindakan melawan hukum seperti mematikan transmitter kapal, menggunakan peralatan yang dilarang dan membahayakan, transhipment illegal, serta pemalsuan dokumen dan logbook.
(Baca: Kemenlu akan Panggil Dubes Tiongkok Terkait Perbudakan ABK Indonesia)