Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD meminta kepolisian untuk mengusut intimidasi atau ancaman teror terhadap diskusi berjudul 'Persoalan Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan'. Diskusi tersebut sebelumnya akan digelar oleh komunitas mahasiswa Constitusional Law Society (CLS) di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
"Saya minta diusut Polri," ujar Mahfud melalui rilis yang diterima Katadata.co.id, Selasa (2/6).
Mahfud memastikan aparat tidak memiliki hak untuk melarang gelaran diskusi tersebut. Ia menduga pihak yang mengintimidasi dan melarang diskusi tersebut bukan bagian dari aparat hukum maupun internal UGM.
Oleh karena itu, ia pun telah meminta polisi agar menelusuri intimidasi tersebut. "Apa bentuk terornya, apakah WA (WhatsApp), apakah gedor pintu. Kalau WA, nomornya berapa yang ngirim WA itu, kan bisa dilacak ada teknologinya," kata Mahfud.
Lebih lanjut, Mahfud mengatakan telah membaca kerangka acuan kerja (Term of Reference/TOR) dari diskusi tersebut. Tidak ada satupun poin dalam TOR tersebut yang bermaksud menjatuhkan presiden hanya karena masalah kebijakan penanganan virus corona.
"Justru semangatnya mengatakan, penanganan Covid-19 itu adalah kebijakan, karena itu tidak bisa menjatuhkan presiden, meski ada yang setuju dan tidak setuju," kata Mahfud.
(Baca: Mahfud MD: Larangan Mudik Berlaku di Seluruh Wilayah Indonesia)
Menurut Mahfud, presiden hanya bisa dijatuhkan melalui lima hal. Pertama, terlibat korupsi. Kedua, terlibat penyuapan.
Ketiga, mengkhianati negara atau ideologi negara. Keempat, melakukan kejahatan yang diancam hukuman di atas lima tahun penjara. Kelima, presiden melakukan perbuatan tercela.
"Ada satu hal lagi keadaan tertentu yang menyebabkan presiden tidak bisa diterima, yakni presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden, misal tadinya sehat sekarang tidak sehat, dulu bisa melihat sekarang tidak bisa, dianggap tidak memenuhi syarat," kata dia.
Diskusi bertajuk 'Persoalan Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan' yang digelar CLS Fakultas Hukum UGM sebelumnya mendapatkan pelarangan dari sejumlah pihak. Tak hanya itu, panitia, moderator, hingga pembicara juga mendapatkan teror.
(Baca: Mahfud: New Normal Masih Wacana, Belum Ada Keputusan Pemerintah)
Dekan FH UGM Sigit Riyanto mengatakan, teror tersebut diterima melalui pengiriman pesanan ojek online serta ancaman pembunuhan, baik melalui pesan tertulis dan telepon. "Hingga adanya beberapa orang yang mendatangi kediaman mereka," kata Sigit dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (30/5).
Tak hanya itu, teror juga menyasar kepada anggota keluarga dari para panitia penyelenggara diskusi. Selain itu, nomor telepon dan akun media sosial panitia sempat diretas pada 29 Mei 2020.
“Peretas juga menyalahgunakan akun media sosial yang diretas untuk menyatakan pembatalan kegiatan diskusi, sekaligus mengeluarkan semua peserta diskusi yang telah masuk ke dalam grup diskusi," kata Sigit.
Lantaran banyak mendapatkan pelarangan dan intimidasi, panitia akhirnya membatalkan gelaran diskusi tersebut. Padahal, Sigit menilai kegiatan tersbeut murni inisiatif mahasiswa untuk berdiskusi ilmiah sesuai minat dan konsentrasi keilmuan mereka.