Kejaksaan Agung Tetapkan Lima Tersangka Kasus Impor Tekstil

Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Ilustrasi. Kejaksaan Agung menahan lima tersangka dalam kasus dugaan impor ilegal.
Editor: Agustiyanti
25/6/2020, 07.44 WIB

Kejaksaan Agung menetapkan lima tersangka dari unsur swasta dan pejabat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dalam kasus dugaan impor tekstil ilegal pada 2018 - 2020. Kelima tersangka yang telah ditetapkan bakal ditahan ditahan selama 20 hari ke depan hingga tanggal 14 Juli 2020.

 Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejaksaan Agung Hari Setiyono mengatakan, para tersangka  diduga melanggar Pasal  2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Jo Pasal 64 ayat 1 KUHP. Dengan susidiair Pasal  3 UU  Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP Jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.

"Berdasarkan alat bukti yang sudah berhasil dikumpulkan oleh Tim Jaksa Penyidik, kami tetapkan lima orang sebagai tersangka dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi impor tekstil periode 2018 - 2020," kata Hari melalui siaran pers yang diterima Katadata.co.id, Rabu (24/6) malam.

Menurut dia, lima orang tersangka dari unsur pejabat pemerintahan dan swasta, yakni Mukhamad Muklas Kepala Bidang Pelayanan Fasilitas Kepabeanan dan Cukai, Kota Batam Provinsi Riau, Dedi Aldrian Kepala Seksi Pabean dan Cukai  III pada KPU Bea dan Cukai Batam, Hariyono Adi Wibowo Kepala Seksi Pabean dan Cukai I pada KPU Bea dan Cukai Batam, Kamaruddin Siregar Kepala Seksi Pabean dan Cukai II pada KPU Bea dan Cukai Batam, serta Irianto pemilik PT Fleming Indo Batam dan PT eter Garmindo Prima.

(Baca: Marak Tekstil Selundupan, Pengusaha Sebut Pengawasan Pemerintah Lemah)

Mereka ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor: PRINT-22/F.2/Fd.2/04/2020 pada 27 April 2020 dan Surat Perintah Penyidikan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor: PRINT-22a/F.2/Fd.2/05/2020 tanggal 6 Mei 2020.

"Hal tersebut menjadi salah satu penyebab banyaknya produk kain impor di dalam negeri sehingga menjadi penyebab kerugian pada perekonomian nasional," kata dia.

Kasus ini bermula pada periode 2018 hingga April 2020 saat pejabat Bea dan Cukai Kota Batam bersama dengan PT Fleming Indo Batam dan PT Peter Garmindo Prima melakukan kegiatan impor produk kain sebanyak 566 konteiner. Mereka melakukan persekongkolan jahat dengan modus mengubah invoice dengan nilai yang lebih kecil untuk mengurangi bea masuk yang harus dibayar.

Tak hanya itu, dalam dokumen perizinan para tersangka juga mengurangi volume dan jenis barang dengan tujuan mengurangi kewajiban Bea Masuk Tindakan Pengamanan Sementara atau BMTPS dengan cara menggunakan Surat Keterangan Asal atau SKA yang tidak benar. 

Sebelumnya,  Bidang Penindakan dan Penyidikan Kantor Pelayanan Utama Bea dan ukai Tanjung Priok, Jakarta Utara juga menemukan 27 kontainer milik kedua perusahaan tersebut pada 2 Maret 2020. Dari temuan itu, didapatkan ketidaksesuaian jumlah dan jenis barang antara dokumen PPFTZ-01 Keluar dengan isi muatan hasil pemeriksaan fisik barang. Jumlah kelebihan fisik barang untuk PT. PGP sebanyak 5.075 roll dan PT. FIB sebanyak 3.075 roll.

(Baca: Jaksa Tuntut Honggo Wendratno 18 Tahun Penjara Karena Korupsi TPPI)

Di dalam dokumen pengiriman disebutkan kain tersebut berasal dari Shanti Park, Myra Road, India dan kapal pengangkut berangkat dari Pelabuhan Nhava Sheva di Timur Mumbai, India. Namun faktanya, kapal pengangkut tersebut tidak pernah singgah di India dan kain-kain tersebut ternyata berasal dari Tiongkok.

Sebagai informasi, Tiongkok merupakan eksportir tekstil dan produk tekstil (TPT) terbesar ke Indonesia. Pada 2018, volume impor TPT asal Tiongkok mencapai 4.392 ton, turun 27,18% dibandingkan dengan 2017 yang mencapai 6.031 ton.  

Impor TPT dari Tiongkok pada 2017 sempat melonjak hingga 123,29% dibandingkan 2016 yang sebesar 2.701 ton. Secara berturut-turut, volume impor TPT asal Tiongkok mencapai 4.080 ton pada 2014 kemudian turun menjadi 3.530 ton pada 2015, dan turun lagi menjadi 2.701 pada 2016.  

Adapun nilai impor TPT asal Tiongkok pada 2018 sebesar US$ 42,7 juta, meningkat 19,75% dari periode sebelumnya yang sebesar US$ 35,7 juta. Sebagaimana volume impor TPT, nilai impor terendah terjadi pada 2016 sebesar US$ 25,7 juta atau menurun hingga 44,18% dibandingkan 2015 yang sebesar US$ 46 juta.

Reporter: Tri Kurnia Yunianto