WHO Sebut Dunia Alami Krisis Pasokan Oksigen Karena Corona

ANTARA FOTO/M Agung Rajasa/wsj.
Ventilator Resusitator Manual (VRM) produksi Pindad di Bandung, Jawa Barat, Jumat (24/4/2020). WHO ingatkan dunia kemungkinan krisis alat bantu oksigen karena kasus corona meningkat.
25/6/2020, 13.03 WIB

Organisasi kesehatan dunia (WHO) mengingatkan bahwa dunia saat ini bisa mengalami krisis pasokan oksigen. Hal ini lantaran banyak negara kekurangan alat bantu pernapasan yakni konsentrator seiring bertambahnya pasien virus corona hingga 9,5 juta kasus.

WHO mengatakan melonjaknya jumlah kasus mengakibatkan permintaan pasokan oksigen menjadi 88 ribu silinder atau 620 ribu meter kubik per hari. Peningkatan drastis ini menyebabkan kelangkaan konsentrator untuk mendukung pernapasan pasien corona di beberapa negara.

“Banyak negara mengalami kesulitan mendapatkan konsentrator oksigen," kata Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus pada hari Rabu (24/6) dikutip dari The Sydney Morning Herald.

(Baca: Dorong Ekspor APD, 6 Perusahaan Tekstil Kantongi Standar WHO)

Hal ini sekaligus menyoroti ketidaksetaraan alat kesehatan yang terjadi di dunia. Di negara Eropa atau Amerika Serikat, pasokan oksigen bagi rumah sakit merupakan hal paling mendasar. Namun hal tersebut menjadi hal yang langka di belahan lain dunia.

Dari survei USAID, hanya 2% fasilitas kesehatan di Kongo yang memiliki alat ketersediaan alat bantu oksigen. Sedangkan di Bangladesh dan Tanzania, pasokan oksigen cuma dapat ditemukan di 7% dan 8% klinik atau rumah sakit.

Hingga 2017, WHO belum memasukkan fasilitas pasokan oksigen sebagai kebutuhan esensial. Hal ini mengakibatkan banyak negara di kawasan Afrika, Amerika Latin, dan Asia tak mendapatkan bantuan alat serta tidak berinvestasi guna memenuhi kebutuhan alat ini.

Sedangkan WHO telah membeli 14 ribu konsentrator dan akan mengirim ke 120 negara dalam beberapa pekan mendatang. Selain itu tambahan 170 ribu alat bantu ditargetkan akan tersedia dalam enam bulan ke depan.

"(Ketersediaan) Oksigen telah hilang dalam agenda global selama beberapa dekade," kata aktivis kesehatan global di koalisi Every Breath Counts Leith Greenslade.

(Baca: Pakar AS Peringatkan Risiko Komplikasi Covid-19 pada Orang Muda)