Pemerintah berencana menghapus penggunaan bahan bakar minyak atau BBM beroktan rendah, yaitu Premium dan Pertalite. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif mengatakan langkah ini sejalan dengan upaya mengurangi emisi karbon.
Indonesia saat ini termasuk satu dari enam negara yang masih mengonsumsi Premium. “Ke depannya akan ada penggantian untuk memakai energi yang lebih bersih,” kata Arifin dalam rapat dengan Komisi VII DPR, Kamis (25/6).
Pertamina memastikan sampai saat ini masih menyalurkan Premium sesuai penugasan pemerintah. Hal tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 43 Tahun 2018. Bahkan perusahaan diberi penugasan dari BPH Migas untuk menyalurkan Premium dengan kuota 11 juta kiloliter (KL) pada tahun ini.
(Baca: Menteri ESDM Jelaskan Rencana Penghapusan Premium dan Pertalite)
Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati menjelaskan rencana penyederhanaan produk BBM sesuai dengan regulasi pemerintah dan kesepakatan dunia tentang lingkungan. Dalam kesepakatan itu, seluruh negara harus berupaya menjaga ambang batas emisi karbon dan polusi udara dengan standar BBM minimal RON 91 dan CN minimal 51.
RON adalah angka acuan oktan untuk mengukur kualitas bahan bakar kendaraan bermotor. Semakin tinggi angka oktannya, semakin rendah emisi gas buangnya. Bahan bakar yang masih di bawah RON 91 adalah Premium dengan nilai oktan 88 dan Pertalite yang memiliki RON 90.
Apa Landasan Hukum Penghapusan BBM Beroktan Rendah?
Aturan penerapan BBM ramah lingkungan tertuang dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor 20 Tahun 2017 tentang Penerapan Bahan Bakar Standar Euro 4. Di dalamnya tertulis standar baku mutu emisi gas buang kendaraan bermotor harus sesuai standar Euro 4, yaitu minimal RON 91.
Pemerintah berencana melaksanakan aturan itu secara bertahap, mulai dari 2018 hingga 2021. Bagi kendaraan berbahan bensin yang baru diproduksi, pemerintah memberikan waktu dua tahun untuk mulai menggunakan BBM berstandar Euro 4. Sementara, untuk kendaraan baru yang berbahan bakar solar, diberikan jangka waktu empat tahun sejak aturan itu terbit.
Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) akan berkoordinasi dengan PT Pertamina (Persero) untuk menyediakan BBM berstandar Euro 4. Pembahasan aturan wajib Euro 4 ini tidak hanya dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tapi melibatkan kementerian lain seperti Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Perindustrian dan Kementerian BUMN.
(Baca: Pemerintah Utang ke Pertamina hingga Rp 96,5 T untuk Pasok Subsidi BBM)
Mengapa BBM Perlu Berstandar Euro 4?
Penerapan BBM berstandar Euro 4, menurut pemerintah, memberi keuntungan bagi konsumen. Kualitas bahan bakar lebih irit dan efisien. Lalu, kualitas udara di perkotaan lebih baik. BBM di Indonesia yang selama ini berstandar Euro 2 memiliki gas buang dengan kandungan sulfur 300 part per million (ppm). Sementara, Euro 4 kandungan sulfurnya hanya 50 ppm.
Manfaat bagi sektor ekonomi adalah Indonesia dapat memperluas pasar ekspor kendaraan bermotornya. Pasalnya, saat ini spesifikasi mesin kendaraan untuk dijual ke luar negeri harus memakai standar BBM Euro 4.
(Baca: Harga Minyak Mulai Naik, Menteri ESDM Tak Berencana Turunkan Harga BBM)
Penghapusan BBM Terkait Subsidi yang Kian Bengkak?
Kebijakan penghapusan BBM beroktan rendah yang sudah lama direncanakan kemudian dipertanyakan oleh DPR. Melansir dari Jawa Pos, anggota Komisi VI DPR dari Fraksi Partai Demokrat Sartono Hutomo mengatakan rencana itu memunculkan dugaan strategi pemerintah untuk meniadakan subsidi BBM.
Menteri Arifin menepis anggapan tersebut. Rencana penghapusan BBM itu merupakan kesepakatan pemerintah untuk mengurangi emisi karbon, dengan memaksimalkan produksi energi ramah lingkungan.
Selama lima tahun pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo, realisasi subsidi energi memang telah menurun dibandingkan pemerintahan sebelumnya. Grafik Databoks di bawah ini menunjukkan pergerakan angkanya.
(Baca: Kementerian ESDM Usul Anggaran Tahun Depan Sebesar Rp 6,84 Triliun)
Namun, angka subsidi energi itu cenderung naik dalam dua tahun terakhir. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 anggaran subsidi energi meningkat 69,24% menjadi Rp 159,97 triliun dari tahun sebelumnya. Jumlah tersebut terdiri atas subsidi bahan bakar minyak (BBM) Rp 100,65 triliun dan subsidi listrik 59,32 triliun.
Di saat yang sama utang BBM bersubsidi pemerintah ke Pertamina juga kian membengkak. Jumlahnya telah mencapai Rp 96,53 triliun. Nicke Widyawati mengatakan besaran utang tersebut merupakan akumulasi dari utang pada 2017 sebesar Rp 20,78 triliun, pada 2018 sebesar Rp 44,85 triliun, dan pada 2019 sebesar Rp 30,86 triliun.
Seluruh perhitungan utang pemerintah itu berdasarkan realisasi volume BBM subsidi dan penugasan yang telah diverifikasi oleh Kementerian ESDM. Selain itu, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah mengaudit besaran utang pemerintah ke Pertamina dan telah disetujui oleh Kementerian Keuangan. "Alokasi pembayarannya pun sudah masuk di Kemenkeu," ujar Nicke,
Pemerintah rencananya akan melunasi utang tersebut dalam dua tahap. Berdasarkan surat Menteri Keuangan (Menkeu), pemerintah akan membayar utang sebesar Rp 45 triliun pada tahun ini. Sedangkan sisanya sebesar Rp 51,53 triliun akan dibayarkan pada tahun berikutnya.
(Baca: Daftar BBM yang Pernah Dihapus Pertamina Sebelum Premium dan Pertalite)
Nicke mengatakan pihaknya membutuhkan pencairan utang tersebut guna menopang keuangan perusahaan di tengah pandemi Covid-19. Hal itu lantaran bisnis Pertamina, seperti perusahaan migas lainnya, mengalami triple shock.
Salah satu faktornya terkait penjualan bahan bakar yang anjlok sejak virus corona menyebar di Indonesia. Secara nasional, penjualan BBM Pertamina turun 25%. Hingga akhir tahun ini, perusahaan memperkirakan konsumsi BBM bakal anjlok hingga 26%.