Edhy Prabowo Disorot Berikan Izin Ekspor Benih Lobster pada Politisi

ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/wsj.
Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo (kiri) menjelaskan ekspor benih lobster saat rapat kerja di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (6/7/2020).
Editor: Ekarina
6/7/2020, 20.00 WIB

Komisi IV DPR menyoroti Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo yang memberikan izin ekspor benih lobster kepada 30 perusahaan yang di antaranya milik kader Partai Gerindra. Edhy Prabowo menyatakan proses pemberian izin telah melalui prosedur yang melibatkan para ahli.

Edhy menjelaskan KKP telah mengumumkan 26 perusahaan yang mendapatkan izin dan salah satunya merupakan politisi Gerindra. "Mungkin tidak lebih dari lima orang yang saya kenal, yang 26 orang itu semua orang Indonesia kebetulan salah satunya orang Gerindra," kata Edhy dalam rapat kerja bersama Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat RI di Gedung Parlemen, Jakarta, Senin (6/7).

Edhy mengatakan perusahaan yang mendapat izin ekspor bukanlah kerabat atau keluarganya. "Saya tidak peduli akan di hina seperti apa mengelola negeri, selama saya sangat yakin tujuan mulia untuk membela rakyat saya tidak peduli yang penting rakyat makan makan," kata dia.

Ekspor benih lobster dilakukan berlandaskan Peraturan Menteri KKP Nomor 12 Tahun 2020. Adanya baleid ini membatalkan pelarangan ekspor benih lobster melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56 Tahun 2016 oleh menteri KKP sebelumnya, Susi Pudjiastuti. 

(Baca: Edhy Prabowo Beri Kesempatan 31 Perusahaan Ekspor Benih Lobster)

Dilansir dari laporan Majalah Tempo, KKP memberikan izin ekspor benih lobster terhadap 30 perusahaan yang terdiri dari 25 perseroan terbatas dan tiga persekutuan komanditer atau CV dan dua unit usaha dagang. Nama-nama sejumlah kader Partai Gerindra diduga menjadi pemilik perusahaan tersebut.

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan atau KIARA mengkritik dibukanya keran ekspor benih lobster. Sebab, beleid tersebut penuh dengan masalah, mulai dari kajian ilmiah, ketidakterbukaan penetapan perusahaan ekspor yang jumlahnya terus bertambah, serta ketiadaan partisipasi nelayan lobster dalam perumusan kebijakan ini.

“Keterlibatan sejumlah nama politisi partai politik, menambah daftar masalah lainnnya dari kebijakan Menteri Edhy ini,” kata Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati melalui siaran pers yang diterima Katadata.co.id.

(Baca: Sebut Ekspor Baru Opsi, Menteri Edhy Optimalkan Budidaya Benih Lobster)

Susan mengutip data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Kementerian Keuangan yang menyebut perusahaan eksportir hanya membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp 15.000 per 60.000 ekor benih. Jika perusahaan eksportir menjual benih Rp 139 ribu per ekor, dan membayar PNBP Rp 15.000, maka angka keuntungan perusahaan eksportir mencapai Rp 8,34 miliar.

"Pada titik inilah kebijakan ini hanya menjadikan benih lobster sebagai objek eksploitasi dari Kebijakan Menteri Kelautan, Edhy Prabowo,” kata Susan.

Adapun beberapa perusahaan yang diduga milik pejabat publik berdasarkan laporan KIARA yakni PT Nusa Tenggara Budidaya yang sahamnya dimiliki oleh Fahri Hamzah mantan politisi Partai Keadilan Sejahtera, PT Bima Sakti Mutiara milik Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, anak Hashim Djojohadikusumo, politisi Partai Gerinda.

Selain itu, ada pula PT Maradeka Karya Semesta milik Eka Sastra Anggota Komisi Perindustrian DPR RI tahun 2019-2024 yang merupakan Politisi Partai Golkar dan PT Agro Industri Nasional yang melibatkan Sakti Wahyu Trenggono, Wakil Menteri Pertahanan.

Ada pula Eko Djalmo Asmadi, Mantan Dirjen Pengawasan SDKP KKP pada PT Agro Industri Nasional, Sugiono Anggota Komisi Pertahanan DPR 2019-2024, petinggi Partai Gerindra melalui PT Agro Industri Nasional dan Dirgayuza Setiawan, merupakan Petinggi Partai Gerindra    melalui PT Agro Industri Nasional.

Kemudian ada juga Hariyadi Mahardika, yang merupakan politisi Partai Gerindra sekaligus petinggi PT Agro Industri Nasional serta Simon Aloysius Mantiri, yaitu Politisi Partai Gerindra yang juga petinggi PT Agro Industri Nasional.

Usut Dugaan Monopoli

Sementara itu Masyarakat Anti Korupsi Indonesia atau MAKI mendesak Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyelidiki pemberian izin ekspor benih lobster kepada 30 perusahaan. 

Pasalnya dalam perizinan tersebut diduga terdapat praktik monopoli dan konflik kepentingan yang dilakukan oleh sejumlah pejabat dengan pemilik perusahaan.

"KPK harus mengawasi dan menyelidiki pemberian ijin ekspor benih lonster ini karena terdapat dugaan konflik kepentingan serta memperdagangkan pengaruh pemberian ijin untuk kepentingan kelompok," kata Koordinator MAKI, Bonyamin Saiman, Senin (6/7).

Edhy Prabowo membantah dugaan monopoli terkait penunjukan perusahaan penerima izin ekspor benih lobster. "Saya tidak ada industri bisnis di kelautan, kemudian istri dan keluarga juga tidak ada yang dilibatkan di sini dan saya jamin itu," kata dia.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai ekspor lobster Panulirus meningkat empat kali lipat dalam tiga tahun terakhir. Pada 2015, ekspor lobster baru mencapai US$ 7 juta pada 2015, lalu naik menjadi US$ 17,2 juta pada 2017 dan US$ 28,5 juta pada 2018. Peningkatan itu berasal dari kenaikan ekspor lobster hidup yang tidak bertelur, segar atau dingin, dan ukuran konsumsi manusia.

Reporter: Tri Kurnia Yunianto