Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Solo, Jawa Tengah dalam beberapa waktu terakhir cukup menghangatkan jagat politik Tanah Air. Ini lantaran putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka akan bertarung dalam Pilkada Solo 2020.
Saat ini, Gibran telah mengantongi rekomendasi dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) pada Jumat (17/7). Dia berdampingan dengan Teguh Prakosa dalam kontestasi politik di akhir tahun tersebut.
Tak berhenti di situ, perjalanan Gibran dalam Pilkada Solo 2020 diprediksi berjalan mulus. Gibran-Teguh diperkirakan menjadi calon tunggal dan berujung melawan kotak kosong di Pilkada Solo.
Hal tersebut karena PDIP yang menjadi pengusung utama Gibran merupakan partai dengan suara terbesar di Solo. PDIP memiliki 30 dari total 45 kursi di DPRD Solo.
(Baca: Pengumuman Calon Paslon PDIP di Pilkada Medan Tunggu Arahan Megawati)
Golkar, Gerindra, dan PAN yang masing-masing memiliki tiga kursi di DPRD Solo pun sudah mendukung Gibran. Begitu pula dengan PSI yang hanya memiliki satu kursi di DPRD Solo.
Hanya PKS dengan lima kursi DPRD Solo yang belum memberikan dukungannya dalam Pilkada Solo. Adapun, syarat minimal pengusungan pasangan calon dalam Pilkada 2020 adalah sembilan kursi.
"Saya jamin (Gibran) menang. Bahkan, dia mungkin akan lawan kotak kosong itu. Lihat saja peta politiknya," kata Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komarudin ketika dihubungi Katadata.co.id, Senin (21/7).
Walau diprediksi mulus, bukan berarti pencalonan Gibran di Pilkada Solo tanpa masalah. Menurut Ujang, majunya Gibran dalam Pilkada Solo ini dikhawatirkan menguatkan gejala dinasti politik di Tanah Air.
Ini karena pencalonan Gibran kerap dikaitkan dengan ayahnya, Jokowi. "Kalau dia berangkat (maju Pilkada Solo) dari kerabat, dari keluarga inti, itu namanya dinasti politik," kata Ujang.
(Baca: Ketua KPK Temukan Modus Penyelewengan Anggaran Covid-19 untuk Pilkada)
Ujang mengatakan, munculnya gejala dinasti politik ini berbahaya. Pasalnya, hal tersebut akan menghadirkan kandidat kepala daerah yang tidak memiliki kompetensi mumpuni untuk maju di Pilkada.
Gibran, misalnya, baru terdengar namanya di blantika politik dalam satu tahun terakhir. "Dia tidak pernah aktif lama di partai politik, tidak pernah menjalani kaderisasi, tidak pernah jalani rekrutmen politik yang baik. Ini kan aji mumpung," kata dia.
Lebih lanjut, Ujang menilai dinasti politik ini berpotensi merusak proses kaderisasi yang selama ini telah dilakukan oleh partai. Dia mencontohkan soal Wakil Wali Kota Solo Achmad Purnomo yang tersalip oleh Gibran untuk maju di Pilkada Solo.
Menurut Ujang, Purnomo merupakan kader senior yang merintis karier politiknya sejak lama. "Dia di partai sudah berdarah-darah, sudah berkeringat, sudah lama. Lalu dia kader senior, selangkah lagi harusnya jadi wali kota, dikalahkan oleh kekuatan dinasti politik," kata dia.
(Baca: Pengumuman Calon Paslon PDIP di Pilkada Medan Tunggu Arahan Megawati)
Analis politik dari Exposit Strategic, Arif Susanto menilai dinasti politik sah-sah saja dilakukan secara konstitusional. Hanya saja, Arif menilai dinasti politik ini berbahaya karena bisa berujung pada pemusatan kekuasaan dan ekonomi.
Kondisi itu lebih lanjut akan semakin menguatkan oligarki di Indonesia. "Kita lihat kecenderungannya ini semakin meningkat," kata Arif.
Arif mengatakan, dinasti politik juga akan memperlemah kontrol terhadap kekuasaan. Sebab, cabang-cabang kekuasaan dalam dinasti politik dipegang oleh orang-orang yang punya hubungan kekeluargaan.
Jika kontrol terhadap kekuasaan melemah, Arif menilai penyalahgunaan kekuasaan akan mudah terjadi. "Bisa saja terpeleset penyalahgunaan kekuasaan seperti korupsi. Banyak contoh bisa diajukan, itu terjadi di Banten, Sulawesi Tengah, Maluku, Maluku Utara, dan Kutai Kartanegara," kata dia.
(Baca: KPU Diminta Waspadai Potensi Penularan Corona pada 4 Tahapan Pilkada)
Sementara itu, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Donny Gahral Adian membantah pencalonan Gibran di Pilkada Solo 2020 erat kaitannya dengan dinasti politik.
Menurut Donny, dinasti politik terjadi ketika kekuasaan diwariskan secara turun temurun tanpa adanya pemilihan. "Misalnya kerajaan begitu, langsung tanpa ada pemilihan," kata Donny.
Adapun, Donny menilai Gibran tak bisa mendapatkan jabatan serta-merta dari Jokowi. Untuk bisa menjadi Wali Kota Solo, Gibran harus telebih dahulu melalui pemilihan secara demokratis.
Lagipula, Donny mengklaim masyarakat sudah bisa memilih dengaan cerdas pada saat ini. Menurutnya, masyarakat sudah tak memandang sosok yang maju dalam Pilkada merupakan anak dari pejabat tertentu.
(Baca: Partisipasi Pemilih Rendah Bayangi Pilkada 2020 di Tengah Corona)
Masyarakat, lanjutnya, akan melihat dari rekam jejak dan kompetensi yang dimiliki seseorang ketika maju di Pilkada. "Ini kebetulan saja anak Presiden yang maju. Nanti masyarakat Solo yang akan menentukan apakah yang bersangkutan memang mampu dipercaya atau tidak," kata dia.
Sementara itu sang ayah, Presiden Jokowi, telah lima kali mengikuti pemilu yang semuanya berakhir dengan kemenangan. Pada Pilkada Solo, Jokowi dua kali terpilih menjadi walikota yakni pada 2005 dan 2010.