Sempat Reaktif Covid-19, Kejagung Baru Tahan Eks Pejabat Bea Cukai

Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Ilustrasi. Kejaksaan Agung telah menetapkan lima tersangka dalam kasus dugaan penyelundupan tekstil dari kalangan petinggi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Editor: Agustiyanti
22/7/2020, 11.00 WIB

Kejaksaan Agung kembali menahan tersangka kasus dugaan penyelundupan tekstil dari kalangan petinggi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Tersangka yang ditahan yakni Mukhammad Muklas selaku Kepala Bidang Pelayanan Kepabeanan dan Cukai KPU Bea Cukai Batam periode 2017-2019.

Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Hari Setiyono mengatakan, penahanan dilakukan berdasarkan Surat Perintah Penahanan Nomor : Sprin-23/F.2/Fd.2/07/2020 tanggal 20 Juli 2020. Muklas baru ditahan lantaran sebelumnya diduga raktif Covid-19 sehingga pemeriksaan dilakukan di kediamannya di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.

"Setelah selesai pemeriksaan yang bersangkutan langsung dilakukan penahanan di rumah tahanan negara atau Rutan untuk masa selama 20 hari terhitung sejak 20 Juli hingga 08 Agustus 2020," kata Hari melalui siaran pers yang diterima Katadata.co.id, Selasa (21/7) malam.

Selain menahan Muklas, pemeriksaan juga dilakukan terhadap tiga orang tersangka dan satu orang saksi yakni Sukiman karyawan PT Flemings Indo Batam sebagai saksi. Sedangkan tersangka yang diperiksa yakni Hariyono Adi Wibowo, Kamaruddin Siregar dan Dedi Aldrian.  

Mereka diperiksa untuk mencari serta mengumpulkan bukti tentang tata laksana proses importasi tekstil dari luar negeri khususnya India. "Pemeriksaan para saksi dilaksanakan dengan memperhatikan protokol kesehatan tentang pencegahan penularan Covid-19," kata dia.

Korps Adhyaksa telah menetapkan lima orang tersangka dalam kasus ini sejak 24 Juni yang lalu. Kelima tersangka itu yakni Mukhamad Muklas Kepala Bidang Pelayanan Fasilitas Kepabeanan dan Cukai, Batam, Dedi Aldrian Kepala Seksi Pabean dan Cukai III pada KPU Bea dan Cukai Batam, Hariyono Adi Wibowo Kepala Seksi Pabean dan Cukai I pada KPU Bea dan Cukai Batam.

 Kemudian ada juga tersangka lain yaitu Kamaruddin Siregar Kepala Seksi Pabean dan Cukai II pada KPU Bea dan Cukai Batam, serta Irianto pemilik PT Fleming Indo Batam dan PT Peter Garmindo Prima. Keempat tersangka telah lebih dulu ditahan oleh Kejaksaan Agung.

Kasus ini bermula pada periode 2018 hingga April 2020 saat pejabat Bea dan Cukai Kota Batam bersama dengan PT Fleming Indo Batam dan PT Peter Garmindo Prima melakukan kegiatan impor produk kain sebanyak 566 konteiner. Mereka melakukan persekongkolan jahat dengan modus mengubah invoice dengan nilai yang lebih kecil untuk mengurangi bea masuk yang harus dibayar. 

Tak hanya itu, dalam dokumen perizinan, para tersangka juga mengurangi volume dan jenis barang dengan tujuan mengurangi kewajiban Bea Masuk Tindakan Pengamanan Sementara atau BMTPS dengan cara menggunakan Surat Keterangan Asal atau SKA yang tidak benar.

 Kecurigaan terhadap kasus ini terendus terutama sejak Bidang Penindakan dan Penyidikan Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Tanjung Priok, Jakarta Utara menemukan 27 kontainer milik kedua perusahaan pada 2 Maret 2020 yang tidak sesuai jumlah dan jeninya. Jumlah kelebihan fisik barang untuk PT. PGP sebanyak 5.075 roll dan PT. FIB sebanyak 3.075 roll.

Di dalam dokumen pengiriman disebutkan kain tersebut  juga disebut berasal dari Shanti Park, Myra Road, India dan kapal pengangkut berangkat dari Pelabuhan Nhava Sheva di Timur Mumbai, India. Namun faktanya, kapal pengangkut tersebut tidak pernah singgah di India dan kain-kain tersebut ternyata berasal dari Tiongkok. 

Tiongkok merupakan eksportir tekstil dan produk tekstil (TPT) terbesar ke Indonesia. Pada 2018, volume impor TPT asal Tiongkok mencapai 4.392 ton, turun 27,18% dibandingkan dengan 2017 yang mencapai 6.031 ton.    

Impor TPT dari Tiongkok pada 2017 sempat melonjak hingga 123,29% dibandingkan 2016 yang sebesar 2.701 ton. Secara berturut-turut, volume impor TPT asal Tiongkok mencapai 4.080 ton pada 2014 kemudian turun menjadi 3.530 ton pada 2015, dan turun lagi menjadi 2.701 pada 2016.   

Adapun nilai impor TPT asal Tiongkok pada 2018 sebesar US$ 42,7 juta, meningkat 19,75% dari periode sebelumnya yang sebesar US$ 35,7 juta. Sebagaimana volume impor TPT, nilai impor terendah terjadi pada 2016 sebesar US$ 25,7 juta atau menurun hingga 44,18% dibandingkan 2015 yang sebesar US$ 46 juta. 

Tiongkok merupakan negara importir terbesar Indonesia sejak beberapa tahun terakhir, terlihat dalam databoks di bawah ini.

Penulis/Reporter: Tri Kurnia Yunianto

Reporter: Tri Kurnia Yunianto