Bahaya Membuka Sekolah di Zona Kuning & Masalah Pendidikan Saat Corona

ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra/foc.
Ilustrasi. Rencana pemerintah membuka sekolah di zona kuning dinilai memiliki risiko kesehatan tinggi.
28/7/2020, 19.38 WIB


Pemerintah Indonesia berencana membuka sekolah atau melaksanakan pembelajaran secara tatap muka di daerah berstatus zona kuning secara terbatatas. Namun, pengamat pendidikan meniali kebijakan ini berpotensi menimbulkan masalah.

Rencana pemerintah ini disampaikan Juru Bicara Satgas Covid-19 Wiku Adisasmito. Ia pun menyatakan sekolah di zona kuning harus memenuhi syarat prakondisi sebelum melakukan pembelajaran secara tatap muka.

Prakondisi tersebut adalah mempertimbangkan jumlah kasus di sekitar sekolah, melakukan simulasi, dan mengukur waktu yang tepat untuk pembukaan sekolah. Pembukaan bisa dilakukan bila daerah tersebut dapat menjaga laju peningkatan kasus covid-19.

“Maka akan kami pertimbangkan untuk dibuka,” kata Wiku dalam konferensi pers virtual, Senin (27/7).

Hal senada juga disampaikan Sekjen Kemendikbud, Ainun Naim. Menurutnya Kemendikbud saat ini tengah mengkaji kemungkinan sekolah di luar zona hijau bisa melakukan pembelajaran tatap muka. Kajian ini dilakukan agar ketika sekolah benar dibuka risiko kesehatannya kecil.

“Memang kami memprioritaskan keselamatan dan kesehatan, namum kami juga harus menjaga proses belajar tidak boleh tertinggal,” katanya, Selasa (28/7) melansir Antara.

Pengamat Pendidikan Universitas Multimedia Nusantara, Doni Koesoema menilai rencana ini memiliki risiko kesehatan yang tinggi dan bisa mendatangkan banyak masalah. “Ini bukan masalah sepele, ini masalah hidup matinya manusia,” katanya kepada Katadata.co.id, Selasa (28/07).

Risiko kesehatan yang besar, menurut Koesoema, lantaran proses penularan di sekolah sangat mudah terjadi. Terlebih, pembukaan sekolah di daerah zona kuning yang memiliki beberapa kasus penularan lokal dan masih banyak sekolah yang tak menerapkan protokol kesehatan secara ketat.

Kemendikbud mencatat terdapat 79 kabupaten/kota yang melanggar ketentuan pembukaan sekolah. Rinciannya pelanggaran berasal dari 18 kabupaten/kota di zona hijau yang tidak mematuhi protokol kesehatan yang berlaku. Sisanya adalah daerah berstatus bukan zona hijau yang nekat membuka sekolah meskipun belum diizinkan, yakni: 39 kabupaten/kota berstatus zona kuning; 20 kabupaten/kota di zona oranye; dan 2 kabupaten/kota di zona merah.

Anggota Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) ini pun meminta pemda meninjau kembali aspek-aspek lainnya sebelum membuka sekolah. Salah duanya adalah kesiapan transportasi umum yang aman dan pengujian corona yang sudah massif. Kedua aspek menurutnya punya peranan penting untuk mencegah kasus tanpa gejala berkeliaran.

“Kalau merasa trasportasi umum belum aman dan tes yang masih sedikit menurut saya akan semakin berisiko ketika sekolah dibuka. Jadi pemda masih bisa menolak membuka sekolah meski status daerahnya sudah kuning,” kata Koesoema.

Selain itu, Koesoema juga menyoroti minimnya fasilitas sanitasi di sekolah di Indonesia. Menurutnya, hanya sekitar 40% sekolah di Indonesia yang sudah memiliki fasilitsas sanitasi layak. Padahal, fasilitas ini sangat vital untuk mencegah penyebaran virus Corona.

Masalah Pendidikan Lain Selama Pandemi

Di luar rencana pembukaan sekolah di zona kuning, Koesoema juga menyoroti tentang pelaksanaan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) di masa pandemi virus corona. Ia menilai pemerintah belum menemukan model PJJ yang efektif. Padahal, mayoritas siswa di negeri ini melakukannya.

Menurut catatan Satgas Penanganan Corona, persentase zona merah di Indonesia mencapai 10,31%, zona oranye sebesar 35,99%, zona kuning mencapai 35,41%, dan zona hijau yang menyentuh angka 18,29%. Dengan kata lain, mayoritas peserta didik masih harus menjalani PJJ.

Alasan Koesoema menilai pelaksanaan PJJ belum efektid lantaran pedoman dari Kemendikbud hanya gambaran umum tanpa melihat karakteristik setiap daerah. Hal ini berimbas pada potensi penurunan capaian belajar siswa hingga akhir tahun ini.

“Kalau Pembelajaran Jarak Jauh tidak disiapkan dengan baik, guru bingung, siswa bingung, orang tua bingung,” katanya.

Koesoema juga menyoroti Program Organisasi Penggerak (POP) Kemendikbud. Program ini dilaksanakan untuk meningkatkan kualitas guru dan kepala sekolah di bidang literasi dan numerasi selama dua tahun ajaran, yakni periode 2020 hingga 2022. Dasar hukumnya adalah Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 32 tahun 2019 tentang Pedoman Umum Penayluran Bantuan Pemerintah di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Program ini menargetkan sebanyak 50.000 guru, kepala sekolah, dan tenaga kependidikan di 5.000 sekolah jenjang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Sekolah Dasar (SD), dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Sementara itu, total dana POP sendiri mencapai Rp 595 miliar

Koesoema menilai program yang didesain sebelum masa pandemi ini perlu dievaluasi pelaksanaannya bila terpaksa dijalankan saat masa pandemi. Ia pun mempertanyakan relevansi program ini bila dijalankan secara online di tengah masa pandemi ini.

“Apakah masih relevan di masa masa ini melakukan pelatihan kepada guru? Apalagi dengan dana segitu, dengan program besar jangkauannya ini masih memungkinkan untuk terus jalan saat pandemi ini,” katanya.

Penyumbang Bahan: Muhammad Arfan Septiawan (Magang). 

Reporter: Antara, Yuliawati