Riwayat Buron Joko Tjandra Sebelum Tertangkap di Malaysia

ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/aww.
Petugas kepolisian membawa buronan kasus korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali Djoko Tjandra yang ditangkap di Malaysia menuju Bareskrim Polri setibanya di Bandara Halim Perdanakusuma Jakarta, Kamis (30/7/2020).
31/7/2020, 10.56 WIB

Pelarian tersangka kasus korupsi Bank Bali Joko Soegiarto Tjandra alias Joko Tjandra berakhir tadi malam, Kamis (30/7). Ia ditangkap di Malaysia berkat kerja sama antara Polri dan Kepolisian Diraja Negeri Jiran.

Pesawat yang membawa rombongan penjemput Joko Tjandra mendarat di Bandara Halim Perdana Kusumah sekitar pukul 22.40 WIB. Joko terlihat mengenakan baju tahanan berwarna oranye dengan tangan terikat. Ia pun langsung dibawa ke Bareskrim Mabes Polri.

Kabareskrim Polro Komjen Listyo Sigit Prabowo menyatakan, penangkapan ini terjadi setelah Kapolri memerintahkan pembentukan tim khusus yang secara intensif mencari keberadaan Joko. Dari pencarian ini, tim khusus mendapat informasi Joko berada di Kuala Lumpur, Malaysia.

Listyo menyatakan, Polri menindaklanjuti informasi tersebut dengan bekerja sama dengan Kepolisian Diraja Malaysia. Kerja sama seperti ini menurutnya pun telah sering terjalin di antara kedua institusi.

“Bapak Kapolri mengirimkan surat kepada Kepolisian Diraja Malaysia untuk bersama-sama melakukan upaya pencarian. Dan alhamdulillah tadi siang kami mendaptkan informasi bahwa yang bersangkutan atau target bisa kami ketahui,” kata Listyo melansir Kompas TV.

Joko memang telah membuat penegak hukum kewalahan menangkapnya setelah kabur pada 2009. Meskipun telah melibatkan Interpol, tapi Kejaksaan Agung RI dan Polri tetap tak bisa mengendus keberadaannya. Hingga pada 8 Juni 2020 ia diketahui berada di Indonesia untuk mengurus pengajuan Peninjauan Kembali (PK) ke PN Jakarta Selatan.

Kabar kemunculan Joko ini pun menghangatkan lagi kasusnya sekaligus menciptakan keganjilan. Jaksa Agung ST Burhanudin dalam rapat dengan Komisi III DPR pada 29 Juni mengaku heran Joko bisa masuk ke Indonesia. Padahal menurutnya, seorang yang dicekal secara imigrasi tak bisa masuk lagi ketika telah kabur ke luar negeri.

Terkait hal ini, tiga anggota Polri diduga terlibat kasus masuknya Joko ke Indonesia. Mereka adalah Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri Brigjen Pol Prasetijo Utomo, Kadiv Hubinter Polri Irjen Pol Napoleon Bonaparte, dan Sekretaris NCB Interpol Indonesia Brigjen Pol Nugroho Slamet. Kapolri Jenderal Pol Idham Azis pun langsung menonaktifkan ketiganya.

Licinnya Joko Tjandra Sebagai Buron

Kasus Joko terkait pengalihan hak tagih (cessie) antara PT Era Giat Prima (EGP) miliknya dengan Bank Bali pada Januari 1999. Ia membuat perjanjian yang ditujukan untuk mencairkan pituang Bank Bali pada tiga bank, yakni Bank Dagang Nasional Indonesia, Bank Umum Nasional, dan Bank Bira senilai Rp 3 triliun.

Namun, dana yang bisa dicairkan perusahaan Joko setelah diverifikasi Badan penyehatan Nasional (BPPN) hanya sebesar Rp 904 miliar dari nilai transaksi Rp 1,27 triliun di Bank Dagang Nasional Indonesia. Pencairan ini pun memlibatkan BPPN yang meminta Bank Indonesia melakukan pembayaran.

Pada tahun sama, Kejaksaan Agung mengendus kasus ini setelah muncul dugaan suap di balik pencairan dana tersebut. Kasus pun diproses di PN Jakarta Selatan. Namun, pada 28 Agustus 2000, Majelis Hakim menyatakan Joko bebas dari segala tuntutan atau onslag.

Pertimbangan Majelis Hakim adalah kasus ini bukan termasuk pidana, melainkan perdata. Sehingga Joko tak bisa dijerat satupun tuntutan hukum pidana.

Kejaksaan Agung pada Oktober 2008 kemudian mengajukan PK ke Mahkamah Agung (MA). Pengajuan ini akhirnya diterima Majelis Peninjauan Kembali MA yang diketuai Djoko Sarwoko dengan anggota I Made Tara, Mansyur Kertayasa, dan Artidjo Alkotsar pada 11 Juni 2009.

Sebagai akibatnya, Joko harus menerima hukuman dua tahun penjara dan membayar denda Rp 15 juta. Uang milik Joko di Bank Bali sejumlah Rp 546.166.369 dirampas negara. Selain itu, imigrasi juga mencekalnya.

Akan tetapi, pada 16 Juni 2009 Joko Tjandra mangkir dari panggilan Kejaksaan Agung untuk dieksekusi. Kejaksaan Agung pun memberikan kesempatan sekali lagi panggilan ulang, tapi Joko tetap tak hadir. Joko pun kemudian dinyatakan sebagai buron.

Saat itu dugaan mengarah Joko Tjandra kabur ke Port Moresby, Papua Nugini menggunakan pesawat carter pada 10 Juni 2009, sehari sebelum vonis MA. Belakangan, Joko memang terlihat di negara tetangga Indonesia tersebut. Bahkan ia dan keluarganya akrab dengan pemimpin negara Papua Nugini, seperti pernah diungkap Narasi TV.

Pada 10 Juli 2009 red notice atau nota merah yang mengindikasikan orang berbahaya dari interpol atas nama Joko Soegiarto Tjandra terbit. Namun, sejak saat itu Joko tetap bisa lepas dari kejaran Interpol, tak seperti tersangka kasus korupsi Bank Century Nazaruddin yang mampu ditangkap di Kolombia kurang dari setahun.

Lebih kurang 11 tahun sejak saat itu, pada 5 Mei 2020, Sekretaris NCB Interpol memberitahukan bahwa nota merah Joko telah terhapus dari sistem basis data terhitung tahun 2014. Alasannya karena tidak ada permintaan lagi dari Kejaksaan Agung RI.

Berdasarkan pemberitahuan tersebut, imigrasi kemudian menghapus nama Joko dari sistem perlintasan. Inilah yang menjadi mula Joko bisa masuk kembali ke Indonesia. Pada 27 Juni 2020, Kejaksaan Agung pun meminta Joko masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO), sehingga namanya kembali masuk dalam sistem perlintasan imigrasi.

Status DPO menjadi awal titik terang penangkapan Joko. Akhirnya lebih kurang sebulan setelah saat itu Joko benar-benar tertangkap di Malaysia.

Reporter: Antara