Keluar dari Jebakan Kelas Menengah, RI Perlu Potong Rente Barang Impor
Pemerintah tengah berupaya keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah. Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Dzulfian Syafrian menilai pemerintah harus memotong rente barang impor jika ingin keluar dari jebakan itu.
Dia mencontohkan rantai pasokan komoditas pertanian sangat panjang di Indonesia. Setiap rantai pasokan mempunyai peluang besar untuk dikorupsi oleh pemburu rente.
Hal itu yang menyebabkan harga telur di Indonesia lebih mahal Rp 10 ribu dibandingkan telur di Inggris. Selain itu, harga bawang bombai di Indonesia sempat menembus Rp 180 ribu per kilogram pada beberapa bulan yang lalu.
"Memotong rente atau bahkan korupsi di berbagai barang-barang impor," kata Dzulfian dalam sebuah webinar, Rabu (12/8).
Dia juga menilai pemerintah perlu meningkatkan investasi yang berkualitas, yaitu investasi yang menciptakan pekerjaan dengan nilai tambah tinggi. Sebagai contoh, Indonesia dapat menarik perusahaan besar untuk meletakkan kantor pusatnya di tanah air, penelitian dan riset atau marketing di Indonesia.
Sejauh ini, lanjut dia, Indonesia hanya menjadi pusat perakitan yang hanya memiliki nilai tambah rendah atau hanya menjadi pasar. "Bukan menjadi pusat produksi," katanya.
Adapun, kategori negara berpendapatan menengah ke atas menurut Bank Dunia, yakni memiliki Penghasilan Nasional Bruto (PNB/GNI) sekitar US$ 4.046-US$ 12.535. Sedangkan PNB Indonesia hanya US$ 4.050 pada Juli 2020. Itu artinya, Indonesia berada di batas bawah kategori negara berpenghasilan menengah atas.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya menjelaskan bahwa negara yang terjerat dalam jebakan negara berpendapatan menengah biasanya tidak bisa menaikkan kualitas sumber daya manusianya. Selain itu, negara tersebut juga masih tertinggal dari segi infrastruktur dan inovasi teknologi.
Oleh karena itu, pemerintah terus berusaha untuk mengalokasikan dana guna meningkatkan sumber daya manusia di Indonesia. Hal tersebut dilakukan melalui pendidikan, kesehatan, hingga jaminan sosial.
"Itu semua belanja, itu semua investasi," ujarnya.
Bagaimanapun, ia mengatakan bahwa anggaran yang banyak tak selalu bisa mendorong suatu negara bisa naik menjadi negara berpendapatan tinggi. Sebab, ada juga beberapa negara yang banyak membelanjakan uangnya tetapi tidak membuahkan hasil. Hal tersebut dinilainya menjadi tantangan tersendiri bagi seorang bendahara negara.