Kebakaran Hutan dan Lahan Ancam Kenaikan Kasus Covid-19

Katadata
Direktur P3ML Kemenkes Wiendra Waworuntu, dalam acara webinar katadata Ancaman Kebakaran Hutan di Tengah Pandemi, Kamis (13/8/2020).
Editor: Yuliawati
13/8/2020, 15.20 WIB

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyebutkan bencana kebakaran hutan dan lahan  (karhutla) yang sering terjadi saat musim kemarau berpotensi meningkatkan risiko penularan pandemi virus corona. Asap dari karhutla menyebabkan banyak anggota masyarakat mengalami infeksi saluran pernapasan atas atau ISPA.

Penderita ISPA ini memiliki imun tubuh yang lemah dan rentan tertular virus Covid-19. "Ada berbagai penelitan yang mengatakan bahwa terjadi peningkatan kasus Covid-19 dalam kebakaran hutan," kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kemenkes Wiendra Waworuntu dalam webinar Katadata Forum 'Ancaman Kebakaran Hutan di Tengah Pandemi' di Jakarta, Kamis (13/8).

Wiendra juga mengatakan kebakaran hutan menyebabkan peningkatan suhu suatu wilayah. Terdapat berbagai penelitian yang menyatakan hubungan antara peningkatan suhu dan peningkatan jumlah kasus konfirmasi positif corona di beberapa negara. Salah satu contohnya penyebaran Covid-19 di Arab Saudi sehingga pelaksanaan ibadah haji pun dilakukan secara terbatas.

Potensi penanganan Covid-19 saat kebakaran hutan pun semakin sulit, karena tenaga medis sulit membedakan antara penyakit ISPA dan Covid-19. Gejala kedua penyakit itu hampir mirip yakni batuk kering dan pilek. "Langkah antisipasinya Kemenkes berkoordinasi dengan dinas kesehatan untuk selalu mendeteksi, mencegah dan merespon peningkatan kasus Covid-19 saat karhutla," kata dia.

Selain itu, mereka menyosialisasikan pembatasan orang-orang yang beraktivitas di luar rumah, khususnya bagi orang yang memiliki penyakit kronis pada jantung dan paru-paru.

Kemenkes memiliki patokan tingkat kesehatan udara berdasarkan jarak pandang asap kabut. Kondisi udara baik jika jarak pandang asap kabut lebih dari 15 kilometer (km), kondisi sedang dengan jarak pandang 10 km - 14 km.

Sedangkan untuk kondisi tidak sehat bila jarak pandang akibat kabut asap mencapai 4 km - 9 km. "Jika jarak pandangnya mencapai kurang dari 1,4 km maka kondisi ini sangat berbahaya bagi kesehatan," kata dia.

Sementara itu Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan Teguh Surya mengatakan enam provinsi yang berpotensi mengalami kebakaran hutan yakni Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Data ini didapatkan dari analisis jejak kebakaran yang terjadi dalam lima tahun terakhir.

"Jadi bencana kebakaran hutan itu sudah berlangsung lebih dari 30 tahun dan selalu berulang ketika musim kemarau tiba," kata Teguh.

Menurut dia, selama ini kebakaran hutan yang terjadi sebagian besar berada pada wilayah-wilayah lahan gambut sehingga sulit dipadamkan. Sebab, titik api tidak terlihat dan kedalamannya bisa mencapai puluhan meter dari permukaan tanah.

Berdasarkan catatannya, Teguh menyebutkan pada periode bulan Juli - Agustus tahun ini telah terjadi peningkatan signifikan kebakaran hutan dari 646 hektare (ha) menjadi 2.500 ha. Total lahan yang telah terbakar mencapai 64.600 ha. "Kita tidak dalam situasi yang baik-baik saja," kata dia.

Lebih lanjut, Teguh menyebutkan, bencana kebakaran hutan yang terus terjadi disebabkan karena penanganan pemerintah yang setiap tahun yang menunggu ada kebakaran lantas baru bertindak. Padahal, upaya ini terbukti tidak efektif.

Pemerintah disarankan memperkuat upaya restorasi lahan gambut agar tetap basah ketika musim kemarau, memperkuat pengawasan pemerintah daerah terhadap titik-titik rawan terbakar atau hotspot. "Perlu terobosan baru dalam menyelesaikan ini," kata dia.

Bank Dunia melaporkan total kerugian ekonomi dari kebakaran hutan di Indonesia pada tahun ini mencapai US$ 5,2 miliar atau sekitar Rp 76,8 triliun. Estimasi tersebut berdasarkan kajian pada delapan provinsi yang terdampak kebakaran pada Juni hingga Oktober 2019.

Hampir setiap tahun terjadi kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Indonesia yang dampaknya tidak hanya dirasakan oleh masyarakat sekitar, tapi hingga ke Negeri Jiran. Kebakaran hutan dan lahan besar pernah terjadi pada 2015.

Lebih dari 2,6 juta ha hutan dan lahan hangus terbakar dilalap si jago merah. Sebagian wilayah Sumatera dan Kalimantan hampir tertutup asap hingga mengganggu kesehatan serta aktivitas sehari-hari masyarakat dan menjadi perhatian dunia internasional.

Reporter: Tri Kurnia Yunianto