Pemerintah menganggarkan dana otonomi khusus atau Otsus untuk Provinsi Papua dan Papua Barat dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2021 menjadi Rp 7,8 triliun. Lebih tinggi dari tahun 2020 yang sebesar Rp 7,6 triliun.
Hal ini sesuai dengan amanat UU Otsus Nomor 21 tahun 2001 bahwa dana Otsus setara 2% dari total pagu dana alokasi umum (DAU) nasional dan berlaku selama 20 tahun. Fokus penggunaannya untuk mendukung perbaikan kesehatan dan pendidikan di Papua dan Papua Barat. Begitupun untuk menopang pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, dan pengentasan kemiskinan.
Selain dana Otsus, pemerintah juga mengalokasikan Dana Tambahan Infrastruktur (DTI) sebesar Rp 4,3 triliun dalam RAPBN 2021. Penentuan besaran anggaran ini berdasarkan kesepakatan antara pemerintah dan DPR serta mempertimbangkan usulan Pemda Papua dan Papua Barat.
Tertulis di Nota Keuangan RAPBN 2021, DTI diharapkan dapat menghubungkan transportasi darat, laut, dan/atau udara yang berkualitas di seluruh distrik di provinsi penerimanya sekurang-kurangnya dalam 25 tahun sejak 2008 lalu.
Menurut data Kementerian Keuangan, dana Otsus dan DTI terus meningkat setidaknya selama lima tahun ke belakang, seperti terlihat di Databoks berikut:
Bagaimana Dampaknya?
Dana Otsus yang digelontorkan sejak 2002 belum mampu mengubah peringkat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua dan Papua Barat. Sampai 2018, berdasarkan data BPS, keduanya masih menempati urutan buncit secara nasional dengan skor masing-masing 60,06 dan 63,74.
10 kabupaten di Papua bahkan memiliki skor IPM terendah nasional. Lengkapnya bisa dilihat dalam Databoks berikut:
Variabel dalam penghitungan IPM metode baru salah duanya adalah harapan lama sekolah (HLS) dan rata-rata lama sekolah (RLS) yang menyangkut fokus penggunaan dana Otsus, yakni pendidikan. Angka HLS Papua 10,83 tahun dan Papua Barat 12,53 tahun. Keduanya lebih rendah dari nasional yang 12,91 tahun dan paling rendah di antara provinsi lainnya.
Sementara angka RLS Papua 6,52 tahun dan Papua Barat 7,27 tahun. Juga lebih rendah dari rata-rata nasional yang 8,17 tahun dan masih paling rendah dibandingkan provinsi lain. Angka ini pun menujukkan masih lebih rendah dari program wajib belajar nasional selama 12 tahun.
Sedangkan variabel IPM dengan metode lama salah satunya adalah angka melek huruf (AMH). Pada 2018, AMH Papua sebesar 76,79% dan Papua Barat 97,33%. Hanya Papua Barat yang lebih tinggi dari rata-rata nasional yang sebesar 95,66%.
Masih belum maksimalnya penghapusan melek huruf tak lepas dari tingginya penduduk yang tidak/belum pernah sekolah dan putus sekolah di kedua provinsi tersebut. Data BPS Papua 2019 menyatakan, penduduk berusia 7-24 tahun sebanyak 16,02% tahun tidak/belum pernah sekolah dan 22,08% putus sekolah.
Lalu, data BPS Papua Barat 2019 menyatakan penduduk berumur 5 tahun ke atas sebanyak 6,73% tidak/belum pernah sekolah dan 63,67% putus sekolah. Angka putus sekolah kedua provinsi tersebut jauh di bawah target rencana strategis Kemendikbud 2015-2019 yang hanya sebesar 1% di semua jenjang pendidikan di seluruh provinsi.
Kondisi Kesehatan Masih Buruk
Perbaikan kesehatan di Papua dan Papua Barat juga belum maksimal. Data Kementerian Kesehatan pada 2017 menyatakan angka stunting di kedua provinsi tersebut sebesar 32,8%. Menduduki peringkat ke-12 dan ke-13 secara nasional.
Stunting adalah masalah kurang gizi kronis sehingga tinggi badan bayi di bawah standar menurut usianya atau pendek. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan batas maksimal angka stunting bayi sebesar 20% dari jumlah penduduk. Artinya kedua provinsi tersebu masih belum memenuhinya.
Angka stunting berdasarkan provinsi di Indonesia seperti dalam Databoks berikut ini:
Kelindan dengan masalah ini, data Kemenkes pada 2018 menyatakan persentase balita 0-23 bulan menderita gizi buruk di Papua sebesar 4,5% dan Papua Barat sebesar 4,1%. Angka ini di atas rata-rata nasional sebesar 3,8%.
Dari sisi fasilitas kesehatan, rasio tempat tidur rumah sakit di kedua provinsi tersebut masih di bawah Aceh yang juga penerima dana Otsus. Rasio di Papua 1,24 dan di Papua Barat 1,38. Sementara Aceh 1,6.
Khusus Papua, berdasarkan data BPS pada 2018, masalah lain adalah tak semua kabupaten/kota memiliki dokter spesialis dan dokter gigi. Wilayah yang tak memiliki dokter spesialis di antaranya, Puncak Jaya, Boven Digoel, Yahukimo, Pegunungan Bintang, Tolikara, dan Sarmi. Sementara yang tak punya dokter gigi, adalah Lanny Jaya, Mamberamo Tengah, Puncak, Dogiyai dan Deiyai.
Ekonomi & Pembangunan Masih Rendah
Kedua perkara sebelumnya, tak lepas pula dari kondisi ekonomi masyarakatnya yang masih buruk. Data BPS pada 2018 menyatakan 27,74% penduduk Papua masih miskin. Angka ini memang turun pada 2019, tapi tidak signifikan yakni sebesar 0,21% menjadi 27,53%.
Rasio gini kedua provinsi yang menunjukkan kesenjangan ekonomi pun masih melampaui angka nasional berdasarkan data BPS per Maret 2020. Rasio gini Papua sebesar 0,392 dan Papua Barat sebesar 0,382, sementara nasional sebesar 0,381.
Fakta tersebut tak jauh dari data BPS pada 2019 yang menyatakan penduduk miskin paling banyak berada di Pulau Maluku dan Papua, yakni 20,9% dari total penduduk Indonesia. Angka tersebut di atas Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (17,9%), Sulawesi (10,4%), dan Sumatera (10,2%).
Pada kuartal kedua 2020, pertumbuhan ekonomi Maluku dan Papua menjadi yang positif di antara pulau lain di negeri ini, yakni 2,36%. Namun, dilihat dari strukturnya terhadap perekonomian nasional masih terkecil, yakni 2,37%. Terbesar adalah Jawa dengan 58,55% yang menunjukkan pemerataan ekonomi belum bisa sampai ke daerah paling Timur Indonesia itu.
Ditilik dari pembangunan infrastruktur, kondisi Papua dan Papua Barat masih memprihatinkan. Sampai September 2016, BPS mencatat 2.658 desa di Papua tak memiliki jalan yang bisa dilalui kendaraan roda empat sepanjang tahun. Sementara di Papua Barat sebanyak 285 desa.
Rasio elektrifikasi di Papua juga menjadi bagian empat provinsi terendah di Indonesia sampai 2017 berdasar data Perusahaan Listrik Negara (PLN), yakni sebesar 42,9%. Tiga provinsi lainnya adalah NTT (52,9%), Sulawesi Barat (66,8%), dan Kalimantan Tengah (69,8%).
Papua juga menjadi provinsi dengan skor indeks pembangunan teknologi informasi terendah di Indonesia sampai 2015, yakni 2,91. Di bawah NTT (3,26), Sulbar (3,33), dan NTB (3,67). Daftar 10 provinsi dengan indeks terendah terlihat dalam Databoks berikut:
Masih Perlukah Dana Otsus?
Tak efektifnya pelaksanaan Otsus Papua dan Papua Barat pernah disoroti mantan tahanan politik Papua, Filep Karma. Ia menilainya telah gagal dan tak setuju wacana pemerintah merevisi UU Otsus yang akan berakhir pada tahun depan agar bisa melanjutkannya, termasuk penggelontoran dana.
“Otsus dijanjikan bukan berjilid-jilid, hanya satu kali,” katanya melansir Tirto.Id, Senin (27/7) lalu.
Filep menyatakan selama pelaksanaan Otsus tersebut pelanggaran HAM juga terus terjadi. Hal ini sesuai dengan laporan Amnesty Internasional Indonesia bertajuk Sudah, Kasi Tinggal Dia Mati: Pembunuhan dan Impunitas di Papua bahwa, sepanjang Januari 2010 hingga Februari 2018 ada 69 kasus pembunuhan di luar hukum di Papua.
Pendapat berbeda disampaikan Peneliti LIPI sekaligus Koordinator Jaringan Damai Papua-Jakarta Adriana Elisabeth. Menurutnya, Otsus tetap perlu dilanjutkan termasuk penganggaran dananya. “Papua dan Papua Barat tanpa Otsus itu mau bagaimana?” katanya saat dihubungi reporter Katadata.co.id, Selasa (18/8).
Lagi pula, menurutnta, konsekuensi tanpa Otsus adalah orang asli Papua akan kehilangan afirmasi politik di pemerintahan yang selama ini dinikmati. Mereka akan bersaing terbuka dengan pendatang untuk menduduki jabatan politik di sana.
“DPRP dan MRP juga akan dibubarkan, apa sudah siap dengan konsekuensi itu?” katanya.
Meski begitu, ia tetap membenarkan bahwa Otsus belum efektif. Salah satu penyebabnya adalah belum sesuai dengan kebutuhan dan kondisi orang asli sana. Sebaliknya masih berdasarkan permintaan atau usulan pemerintah provinsi.
“Pemerintah provinsi kan hanya menyambung hubungan dengan pusat saja. Itu harus dari kampung, karena kondisinya di situ,” kata Adriana.
Adriana mencontohkan pendidikan yang menjadi fokus utama pelaksanaan dana Otsus. Semestinya pemerintah membuat kurikulum khusus berdasarkan kondisi etnografis 7 wilayah adat di sana yang dikombinasikan dengan kurikulum nasional. Bisa dengan memasukkan konten lokal di dalamnya.
Metode pembelajarannya, kata Adriana, juga mesti disesuaikan dengan kondisi masyarakatnya. Misalnya dengan menerapkan pembelajaran secara visual yang menurutnya lebih mudah diterima orang asli Papua.
“Perlu juga menambah sumber daya manusia pengajar di sana dan programnya harus berkelanjutan,” kata Adriana.
Adriana juga menyoroti pengelolaan yang masih buruk sebagai penyebab belum efektifnya pemanfaatan dana Otsus. Seperti halnya temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 2011, bahwa Rp 4,281 triliun dana Otsus disalahgunakan sepanjang 2002-2010 dari total Rp 28,842 triliun.
Guna menyelesaikannya, kata Adriana, pemerintah perlu mengevaluasi tata kelola pemerintahan di Papua dan Papua Barat. Ia pun meminta pemerintah menggalakkan penegakan hukum. Mengingat, tanpa keduanya mustahil pemanfaatan dana Otsus efektif meskipun terus bertambah setiap tahunnya.