Potensi investasi berdampak atau impact investment sebenarnya sangat besar di Indonesia. Namun, saat ini belum banyak tergarap. Padahal, skema ini dapat memberi dampak positif ke masyarakat, di samping mendatangkan keuntungan finansial.
Melansir dari data Mekar Indonesia, potensi investasi berdampak di sektor energi mencapai US$ 4,44 miliar atau hampir Rp 65 triliun. Di sektor agri bisnis dan perikanan angkanya di US$ 3,15 miliar (Rp 46 triliun). Lalu, sektor perairan potensinya mencapai US$ 2,4 miliar atau Rp 31 triliun.
Total dari tiga sektor itu mencapai Rp 142 triliun. “Memang potensi investasinya besar, tapi belum ada yang masuk ke situ,” kata CEO Mandiri Capital Indonesia Eddi Danusaputro dalam webinar bertajuk Sustainable Investing Opportunities, Katadata SAFE Forum 2020, Selasa (25/8).
Ia menyebut rendahnya angka investasi berdampak karena adanya anggapan peluang untungnya yang rendah. Selain itu, rencana kontigensi untuk melikuidasi aset atau exit strategi dalam investasi ini dinilai lebih sulit.
Padahal, anggapan itu tak sepenuhnya benar. “Yang bermain di impact dan sustainable fund itu return-nya enggak kalah dengan commercial driven fund,” ucap Eddi.
Rendahnya minat terhadap investasi berdampak dan berkelanjutan juga disebabkan besarnya biaya transaksi. Ada pula risiko yang cukup tinggi. “Kalau commercial finance itu dianggap tidak mau mengambil risiko yang terlalu tinggi,” kata Dewan Direksi The &Green Fund Felia Salim.
Potensi keuntungan dari investasi berdampak dan berkelanjutan, menurut dia, tetap besar. Tak hanya memberi keuntungan, tapi berdampak positif untuk lingkungan dan sosial.
Apa Itu Impact Investment?
Impact investment adalah investasi yang tidak sekadar mencari keuntungan, tapi juga memberikan dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan. Peneliti Center for Strategic and International Studies (CSIS) Daniel F Runde menuliskan, istilah investasi berdampak muncul pertama kali dalam salah satu acara Rockefeller Foundation pada 2007.
Model bisnis tersebut, menurut Runde, merupakan wajah baru program investasi tanggung jawab sosial atau socially responsibility investment (SRI) yang banyak dikeluarkan perusahaan besar pada awal 1990-an. Biasanya, perusahaan mengeluarkan dana SRI karena bisnisnya dianggap berbahaya secara sosial, seperti alkohol, tembakau, produksi senjata, dan bahan bakar fosil.
Praktik SRI mendorong investor besar masuk ke dalamnya. Di Amerika Serikat, pada 2015 aset investasi tanggung jawab sosial melebihi US$ 7 triliun, hampir dua kali lipat dari 2012.
Perubahan lalu terjadi pada 2008 ketika terjadi krisis keuangan global terjadi. Krisis ini mengikis kepercayaan publik terhadap kapitalisme dan secara bersamaan banyak orang mempertanyakan kebijakan pemerintah dalam mengatasi tantangan sosial. Dana SRI yang besar ternyata tak serta-merta dapat memecahkan masalah sosial dan lingkungan di dunia.
Investasi berdampak muncul sebagai kritik kapitalisme dan cara investor mengatasi masalah yang tidak dapat diselesaikan pemerintah. Salah satu yang mendorong tren minat investasi berdampak secara global karena banyak generasi milenial percaya priortas utama sebuah bisnis seharusnya memperbaiki masyarakat.
Studi oleh Morgan Stanley pada 2015 menemukan, generasi milenial dua kali lebih mungkin berinvestasi di perusahaan yang menargetkan perbaikan sosial atau lingkungan. Sejak 2008 hingga 2014, terjadi peningkatan 50% jumlah jutawan dan 200% miliarder yang melakukan impact investment.
Miliarder generasi baru yang melakukan itu contohnya adalah Mark Zuckerberg (pendiri Facebook) dan Pierre Omidyar (pendiri eBay). Lalu, perusahaan besar yang mendirikan unit investasi berdampak, misalnya Imprint Capital, Morgan Stanley, BlackRock, dan UBS.
Apa Beda Impact Investment dengan Filantropi?
Forbes pada akhir 2018 menuliskan investasi berdampak menggabungkan investasi dan donasi. Harapannya, model bisnis tersebut dapat menutup gap masalah lingkungan dan sosial yang tak kunjung terpecahkan di dunia.
Investornya bermacam-macam. Tidak perlu perusahaan besar. Ia bisa berwujud modal ventura yang menanamkan uangnya di bisnis teknologi hijau (green technology) atau bank yang memberi dana di bidang pendidikan, dan lainnya.
Ada berbagai persoalan di dunia yang memerlukan dana investasi berdampak, seperti pengurangan polusi udara atau plastik di laut, produksi pangan berkelanjutan, serta akses pendidikan dan kesehatan yang berkualitas.
Di Indonesia, seperti terlihat pada grafik Databoks di bawah ini, investasi asing masih banyak masuk ke sektor listrik, gas, dan air. Dana yang masuk ke proyek-proyek ramah lingkungan dan berkelanjutan masih minim.
Data Global Impact Investors Network atau GIIN memperkirakan pada 2018 terdapat US$ 228 miliar aset investasi berdampak. Angkanya naik dua kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya. Thomson Reuters Foundation melaporkan, anggota Toniic (sebuah klub investasi global untuk investor berdampak), total investasinya mencapai US$ 2,8 miliar pada 2018, naik dari US$ 1,65 miliar pada 2016.
Bisnis yang bertujuan mendapatkan keuntungan ganda ini kerap dianggap memiliki keuntungan yang rendah. Namun, penelitian para akademis justru membuktikan sebaliknya. Masyarakat dan lingkungan yang baik terbukti baik untuk bisnis perusahaan.
Dengan seluruh kondisi itu, para ahli percaya investasi berdampak akan tumbuh secara eksponensial dalam beberapa dekade ke depan. Cara filantropis beramal bukan lagi satu-satunya cara untuk membuat perbedaan. Investasi berdampak diperkirakan dapat membuat perubahan positif di bumi.