Faisal Basri: Masyarakat Tak Mau Belanja kalau Tes Corona Masih Rendah
Ekonom Senior Faisal Basri menilai pembukaan kembali aktivitas ekonomi harus diimbangi dengan peningkatan tes dan pelacakan (contact tracing) virus corona atau Covid-19. Jika hal tersebut tidak dilakukan, pemulihan ekonomi Indonesia di tengah pandemi corona sulit terwujud.
Ia pun mencontohkan beberapa negara yang nekat membuka kembali aktivitas ekonomi di tengah pandemi corona, seperti Arab Saudi dan Israel, namun diiringi dengan peningkatan jumlah tes dan contact tracing. Hal ini jutsru berbeda dengan Indonesia, di mana pembukaan kembali aktivitas ekonomi tidak diiringi upaya memperbanyak jumlah tes dan contact tracing Covid-19.
"Di Indonesia hari Sabtu dan Minggu ada laboratorium yang libur, sehingga tes Covid-19 yang dijalankan sedikit, padahal virus tidak pernah libur," kata Faisal Basri dalam Rapat Dengar Pendapat Umum bersama Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat, Senin (31/8).
Jika upaya tes dan contact tracing virus corona tidak digencarkan, ia khawatir masyarakat tidak akan percaya diri untuk membelanjakan uangnya dan memutar roda perekonomian. Sebab, konsumen akan terus was-was dengan keadaan yang belum sepenuhnya aman dari pandemi corona.
Untuk meningkatkan contact tracing, Faisal Basri menyarankan pemerintah mengumpulkan 200 ribu sukarelawan. Untuk mendapatkan sukarelawan ini, pemerintah bisa memanfaatkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang saat ini tengah menjalankan sensus penduduk.
Sebelumnya, pemerintah mencatat jumlah pemeriksaan Covid-19 di Indonesia rata-rata hanya mencapai 20.000 hingga 25.000 spesimen per hari. Juru bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito mengakui pemerintah kesulitan memenuhi target pemeriksaan virus corona sebanyak 30.000 spesimen per hari.
“Jadi memang target 30 ribu ini cukup berat pada saat ini untuk dicapai,” kata Wiku di Kantor Presiden, Jakarta, Kamis (27/8).
Ia menjelaskan kesulitan muncul karena terbatasnya sumber daya manusia di laboratorium untuk memeriksa corona. Kendala lain yang juga dihadapi adalah alat PCR yang dipakai untuk memeriksa spesimen corona bervariasi, sehingga distribusi reagen pun menjadi terhambat.
Kondisi itu terjadi karena berbagai laboratorium yang ada tidak berasal dari satu kementerian saja. Tercatat ada 12 kementerian/lembaga yang mengelola hampir 300 laboratorium di Indonesia.
Adapun jumlah tes virus corona yang dilakukan pemerintah tercatat masih berada jauh di bawah standar organisasi kesehatan dunia (WHO). Jika dkalkulasi, Indonesia hanya mampu menggelar tes sebanyak 35,6% dari ketentuan internasional.
WHO mensyaratkan tiap negara menggelar tes 1 per 1.000 orang tiap pekan, sehingga dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 267 juta maka standar pengujian ideal seharusnya sebanyak 267.700 per minggu.
Hingga 20-26 Juli 2020 jumlah tes yang dilaksanakan hanya mencapai 89.712 sampel. Kemudian pada 27 Juli sampai 2 Agustus 2020 jumlahnya turun menjadi 85.402 tes. Sedangkan angka tertinggi yang didapatkan pemerintah adalah periode 17-23 Agustus 2020 yakni sebanyak 95.463 tes.