Erick Thohir: Pemerintah Tak Bisa Mengatur Harga Jual Vaksin Covid-19

ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/hp.
Ilustrasi, Ketua Pelaksana Satgas Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional Erick Thohir. Erick Thohir menyebutkan bahwa pemerintah tidak bisa mengatur harga jual vaksin virus corona, karena penetapannya tergantung dari produsen dengan mempertimbangkan biaya pengembangan dan kapasitas produksi.
Penulis: Ihya Ulum Aldin
3/9/2020, 16.29 WIB

Ketua Pelaksana Satgas Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional Erick Thohir mengatakan bahwa pemerintah tidak bisa mengatur harga jual vaksin virus corona atau Covid-19. Harganya vaksin menurutnya tergantung dari produsen dan penjual vaksin tersebut.

"Harga itu dinamikanya tinggi, tergantung masing-masing penjual. Yang menetapkan harga vaksin Covid-19 bukan saya, tapi penjualnya," kata Erick yang juga menjabat sebagai Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam konferensi pers, Kamis (3/9).

Apalagi, upaya pengembangan dan produksi vaksin virus corona tidak hanya dilakukan Indonesia saja, melainkan banyak negara di seluruh dunia. Sehingga, mekanisme harga jual menjadi tergantung dari produsen vaksin dengan berbagai pertimbangan.

Sebelumnya, Erick memperkirakan harga vaksin Covid-19 untuk satu orang yang mendapatkan dua kali suntikan berkisar antara US$ 25 hingga US$ 30. Perbedaan harga tersebut bisa terjadi karena biaya selama proses pengembangan dan kapasitas produksi antar produsen berbeda-beda.

Namun, ia menegaskan perbedaan harga tersebut bukan terkait dengan kualitas vaksin karena untuk produksinya semua produsen harus melewati uji klinis sebanyak tiga tahap. Oleh karena itu, dipastikan bahwa vaksin Covid-19 yang nantinya akan dibagikan gratis kepada 93 juta penduduk Indonesia bukan vaksin berkualitas rendah.

Lebih lanjut, Erick menyebutkan bahwa pengembangan vaksin Merah Putih yang saat ini sedang dilakukan pemerintah tergolong krusial. Jika Indonesia mampu mengembangkan dan memproduksi vaksin secara mandiri maka bisa menjadi salah satu penjual dan menentukan harga pasar untuk dijual ke luar negeri.

Sementara, masyarakat yang dinilai memiliki kemampuan lebih secara finansial diharapkan untuk melakukan vaksinasi melalui program mandiri yang berbayar. Vaksinasi berbayar ini dilakukan agar tidak memberatkan pemerintah, bukan dimaksudkan sebagai upaya pemerintah mencari pendapatan.

"Bukan berarti yang bayar didahulukan daripada yang gratis. Nanti ada sinkronisasi jadwal dan data," ujarnya.

Saat ini pemerintah tengah fokus untuk mengembangkan vaksin agar 70% penduduk Indonesia bisa mendapatkan vaksin. Jumlah vaksin tersebut, tidak memasukkan penduduk berusia 18 tahun karena dinilai memiliki daya tahan tubuh yang masih sangat bagus.

Seperti diketahui, Presiden Joko Widodo menargetkan uji klinis vaksin virus corona Merah Putih buatan Indonesia bisa dilakukan pada awal 2021. Sedangkan vaksin tersebut siap diproduksi pertengahan tahun depan.

Vaksin Covid-19 buatan Indonesia ini tengah dikembangkan oleh konsorsium Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman bersama PT Bio Farma. Selain itu, sejumlah perguruan tinggi dan instansi lainnya juga terlibat dalam pengembangan vaksin ini.

"Vaksin Merah Putih ini prosesnya sudah 30%-40% dan direncanakan dapat uji klinis awal tahun depan," kata Jokowi dalam rapat terbatas Pengarahan Presiden RI Kepada Para Gubernur di Istana Bogor, Selasa (1/9).

Reporter: Ihya Ulum Aldin