Kebijakan pemerintah melonggarkan aktivitas perekonomian melalui penerapan adaptasi hidup baru berdampak pada terus meningkatnya kasus Covid-19. Namun, ancaman resesi masih menghantui Indonesia meskipun pembalikan atau rebound mulai terlihat.
Pemerintah mulai melonggarkan aktivitas perekonomian pada Juni lalu. Misalnya di DKI Jakarta, perkantoran, pertokoan mandiri, dan restoran mulai diizinkan beroperasi pada 8 Juni lalu. Disusul mal yang boleh beroperasi pada 15 Juni. Seluruhnya dengan protokol kesehatan maksimal 50% dari kapasitas normal.
Sejak saat itu, pergerakan masyarakat berangsur pulih. Berdasarkan data Google Mobility Report pergerakan masyarakat ke tempat-tempat yang mulai dilonggarkan meningkat pada Juni dibandingkan Mei. Misalnya, ke ritel dan tempat kerja yang masing-masing meningat 21% dan 46%.
Peningkatan itupun terbilang terjaga atau tak terlalu turun pada bulan-bulan setelahnya, seperti bisa dilihat dalam Databoks di bawah ini:
Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat lonjakan penggunaan moda transportasi udara pada Juli atau sebulan setelah pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Jumlah penumpang pesawat domestik naik 135,74% secara bulanan.
Peningkatan terjadi di seluruh bandara utama. Bandara Ngurah Rai Denpasar menjadi yang tertinggi, yakni 263,16%. Disusul Bandara Soekarno-Hatta Banten dengan 145,24%, Bandara Kualanamu Medang dengan 119,93%, Bandara Hasanuddin Makassar dengan 97,53%, dan Bandara Juanda Surabaya dengan 89,08%.
Akan tetapi, di balik bergeliatnya aktivitas masyarakat tersebut jumlah kasus Covid-19 turut meningkat. Terlihat dari rata-rata kasus baru selama sepekan yang terus naik dari 8 Juni sampai 21 Agustus, menurut data Kemenkes. Pada 8 Juni rata-ratanya adalah 728 kasus. Sementara pada 21 Agustus rata-ratanya 2.041.
Bahkan, per hari ini (3/9), tambahan kasus harian memecahkan rekor baru dengan 3.622 orang. Membuat total kasus menjadi 184.268 orang. Penambahan terbanyak dari DKI Jakarta dengan 1.359 orang.
Selain itu, tingkat kepositifan atau positivity rate Covid-19 Indonesia terus mengalami peningkatan selama tiga bulan ke belakang. Pada Juni sebesar 11,71%, meningkat menjadi 14,29% pada Juli, lalu menjadi 15,43% pada Agustus.
Juru Bicara Satgas Covid-19 Wiku Adisasmito menyatakan, positivity rate tersebut tiga kali lipat lebih tinggi dari standar organisasi kehesatan dunia (WHO), yakni 5%. “Tingkat positif Covid-19 Indonesia sempat mencapai titik maksimum sebesar 25,25% pada 30 Agustus,” katanya, Rabu (2/9).
Bisa Terus Meningkat Sampai Tahun Depan
Epidemolog Fakultas Kesehatan Masyarakat UI, Pandu Riono menilai tren kasus Covid-19 di Indonesia bisa terus meningkat sampai tahun depan jika pemerintah tak mengetatkan surveilans dan memperkuat layanan primer dalam sistem kesehatan publik.
WHO mendefinisikan surveilans sebagai proses pengumpulan, pengolahan, analisis, dan interpretasi data secara sistemik. Kegiatan ini dilakukan secara berkelanjutan diiringi dengan penyebaran informasi kepada unit yang membutuhkan untuk dapat mengambil tindakan.
Salah satunya, kata Pandu, adalah dengan meningkatkan kapasitas pelacakan di Puskesmas. Hal ini krusial mengingat selama ini pembicaraan peningkatan kapasitas pelacakan hanya fokus di rumah sakit.
“Puskesmas merupakan garda terdepan untuk pelacakan dan mereka juga yang melakukan promosi kesehatan di tengah-tengah masyarakat. Kita melupakan itu,” katanya dalam webinar bertajuk 6 Bulan Covid-19 di Indonesia, Kapan Berakhirnya? yang diselenggarakan Katadata.co.id, Kamis (3/9).
Pengetatan surveilans, kata Pandu, juga dengan meningkatkan kapasitas pemeriksaan laboratorium di wilayah-wilayah yang memiliki kesiapan sumber daya manusia.
Indonesia memang masih minim dalam melakukan pemeriksaan laboratorium secara kuantitas. Totalnya sebanyak 1,14 juta orang atau 4.167 orang per satu juta penduduk hingga 22 Agustus 2020.
Dilihat secara harian, jumlah tes pun belum bertambah signifikan. Pada pekan ketiga bulan lalu hanya 12.466 orang per hari. Tidak sampai dua kali lipat dari periode yang sama bulan sebelumnya. Begitupun masih jauh dari standar WHO bagi Indonesia untuk memeriksa 38.722 orang per hari.
Tes pun belum merata dan masih didominasi Ibu Kota. Data Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta menyatakan, jumlah orang yang diperiksa sepanjang Agustus mencapai 138 ribu orang atau 54,1% dari total tes nasional di bulan sama.
Rendahnya kapasitas tes tersebut, selaras dengan asumsi Pendiri KawalCovid-19, Ainun Najib terkait penyebab terus meningkatnya positivity rate di Indonesia. Asumsi lainnya adalah karena penyebaran memang terus meluas.
Ainun pun meragukan data penurunan kasus aktiv Covid-19 di Indonesia dari 81,57% pada April menjadi 23,64% pada Agustus sebagai pertanda pasien sembuh meningkat. Menurutnya, itu semata karena perubahan kriteria pasien sembuh.
Pada Juli lalu, pemerintah mulai mengadopsi standar WHO untuk discharge pasien, sebagaimana tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/Menkes/413/2020. Ainun menyatakan melalui peraturan ini pasien tanpa gejala hingga gejala sedang bisa dinyatakan sembuh tanpa melakukan pemeriksaan PCR ulang.
Sebaliknya, kata Ainun, pasien hanya perlu mengisolasi diri selama 10 hari sejak pengambilan spesimen diagnosis terkonfirmasi. Berbeda dengan sebelumnya yang seorang pasien dinyatakan negative setelah tes PCR sebanyak dua kali.
“Itu yang terkesan menurunkan dan membuat seolah kasus aktif Covid-19 Indonesia melandai,” kata Ainun dalam webinar ‘6 Bulan Covid-19 di Indonesia, Kapan Berakhirnya?’ yang diselenggarakan Katadata.co.id, Kamis (3/9).
Ekonomi Masih Terancam Resesi
Harapan pemerintah untuk membalikkan kondisi perekonomian melalui pelonggaran aktivitas masyarakat memang mulai terlihat berhasil. Misalnya dari indikator Purchasing Manager’s Index (PMI) yang terus meningkat dari Juni-Agustus seperti dalam Databoks di bawah ini:
Peningkatan PMI tersebut menunjukkan industri manufaktur mulai bergeliat. Artinya kegiatan produksi mulai berjalan lagi dan ada peluang tenaga kerja terserap kembali. Selain itu, menunjukkan sudah mulai ada permintaan dari masyarakat.
Mulai munculnya permintaan masyarakat juga tampak dari meningkatnya Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) sejak PSBB dilonggarkan. Pada Juni, poin IKK sebesar 83,8 dan lebih besar dari Mei yang 77,8. Sementara pada Juli kembali meningkat menjadi 86,2. Artinya, ekspektasi konsumen terhadap kondisi perekonomian membaik.
Meski demikian, sinyal pembalikan tersebut belum mampu memacu pertumbuhan ekonomi di kuartal kedua. Justru terkontraksi sebesar 5,32%. Indonesia pun terancam masuk ke jurang resesi pada kuartal ketiga, sebagaimana proyeksi sejumlah ekonomi yang menyatakan pertumbuhan masih akan tetap minus.
Salah satu yang memproyeksikannya adalah Ekonom Senior INDEF Faisal Basri, yakni sebesar 3%. Faktor utamanya adalah konsumsi rumah tangga yang belum akan pulih sepenuhnya. Padahal menyumbang lebih dari 50% terhadap PDB. Sementara Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Muhammad Faisal memproyeksikannya minus 2% dan Menkeu Sri Mulyani sebesar minus 2%-0%.
Belakangan, pemerintah berupaya meningkatkan konsumsi masyarakat dengan memberikan stimulus tambahan. Antara lain pencairan gaji ke-13 untuk Aparatur Sipil Negara (ASN) dan subsidi gaji pekerja bergaji di bawah Rp 5 juta.
Pemerintah pun tengah merencanakan reformasi sistem keuangan guna mencegah krisis menjalar ke sektor keuangan. Perubahan yang akan terjadi seperti memgembalikan kewenangan pengawasan bank dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ke BI dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
UU BI pun akan direvisi yang isinya antara lain membentuk Dewan Moneter dan melibatkan pemerintah dalam pengambilan keputusan moneter. Hal ini menghapus Pasal 9 di UU saat ini yang menyatakan BI independen dalam menjalankan fungsinya.
Ekonom senior CORE Indonesia, Piter Abdullah menilai rencana reformasi sistem keuangan tak tepat dan cenderung terburu-buru. Sebaliknya, ia meminta pemerintah tetap fokus menangani wabah yang menurutnya adalah sumber utama krisis saat ini.
“Ini masalahnya apa, solusinya apa, enggak jelas,” katanya melansir Antara, Senin (31/8).