Praktik pembelajaran jarak jauh atau PJJ selama pandemi Covid-19 menyimpan berlapis masalah. Kebijakan Kemendikbud memberi subsidi pulsa untuk pengajar dan siswa dinilai belum cukup menyelesaikannya.
Pandemi Covid-19 membuat sekolah harus tutup demi memangkas penyebarannya. Data Kemendikbdud per 13 April 2020 menyatakan, total 68.729.037 siswa harus belajar dari rumah atau PJJ. Terbanyak adalah di tingkat SD/Madrasah Ibtidaiyah/sederajat dengan 28.587.688 siswa. Disusul tingkat SMP/MTs/sederajat dengan 13.086.424 siswa.
Sebanyak 4.183.591 pengajar pun mengajar dari rumah. Rinciannya bisa dilihat dalam Databoks di bawah ini:
Selama masa pembelajaran dari rumah tersebut, para pengajar dan siswa harus menggunakan internet. Namun, jaringan dan kuota internet menjadi kendala. Seperti halnya yang diungkapkan Ricky Aditya, siswa SMAN 2 Wonosobo, Jawa Tengah.
“Kami kirim pesan lewa WA juga tidak nyambung,” kata Ricky dalam acara bincang santai Curhat Anak Jawa Tengah di Masa Pandemi, Juli lalu, melansir Kompas.com.
Hal ini lah yang menjadi sorotan pakar pendidikan Universitas Multimedia Nusantara Doni Koesoema. Ia pun menilai kebijakan Kemendikbud yang memberikan bantuan pulsa internet dengan total anggaran Rp 7,2 triliun hanya meringankan biaya pengeluaran orangtua saja, tapi tidak menyelesaikan masalah keseluruhan masalah.
Melalui bantuan tersebut, siswa mendapatkan kuota sebesar 30 giga byte (gb) per bulan, sementara tenaga pendidik mendapat 42gb per bulan. Lalu, mahasiswa dan dosen akan mendapatkan kuota sebesar 50gb per bulan. Bantuan ini akan diserhkan selama empat bulan, mulai dari September hingga Desember mendatang.
“Karena masih ada 69 juta siswa kesulitan mengakses internet yang terbatas,” kata Doni kepada Katadata.co.id (31/08).
Data Kemendikbud pun menunjukkan sebanyak 33.227 satuan pendidikan mempunyai listrik, tapi tidak tersentuh internet. Sementara 7.552 satuan pendidikan lebih memprihatinkan karena tak tersentuh listrik apalagi internet. Selengkapnya di Databoks berikut ini:
Doni menilai, pemerintah perlu membangun infrastruktur di daerah-daerah yang tak terjangkau internet untuk mengentaskan masalah tersebut. Hal ini demi memastikan keadilan seluruh siswa mendapatkan pendidikan selama masa PJJ.
“Jadi kalau tidak ada program lain, ya, ada banyak siswa di Indonesia yang terdiskriminasi kebijakan pendidikan pemerintah,” kata Doni.
Guru Tak Lakukan Pembelajaran Secara Benar
Perkara lain yang menambah kerumitan praktik PJJ saat pandemi Covid-19, kata Doni, adalah guru yang tak melakukan pengajaran dengan benar. Seperti tak mau menyesuaikan kurikulum denga level belajar siswa di tengah pandemi Covid-19.
“Ada jutaan siswa Indonesia yang terancam tidak punya basic knowledge atau pendasaran ilmu yang baik dan ini membahayakan untuk perkembangan berikutnya,” kata Doni
Pendapat Doni senada dengan Riset Yusof Ishak Institute pada 2020 yang menunjukkan hanya separuh guru mau menyesuaikan kurikulum dengan level belajar siswa. Sisanya, hanya mengikuti tuntutan kurikulum saja tanpa memberikan atau melihat level belajar siswa.
Dalam riset bertajuk Teaching and Learning During School Closure: Lesson From Indonesia, ditemukan sekitar 60-70% guru yang berinteraksi langsung dengan siswa atau melalui orang tua siswa. Sementara, 10% guru hanya membebankan tugas saja kepada siswa tanpa ada pendampingan atau pun interaksi. Lalu, guru mengalihkan pembelajaran lewat media lain, seperti menonton siaran edukasi di TVRI.
Studi RISE Indonesia pada Juni 2020 mengungkap kurangnya kompetensi guru di dalam negeri lantaran tiga faktor utama. Pertama, rekrutmen guru acap kali menjadi cara bagi seseorang untuk meningkatkan status menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) sehingga tidak memprioritaskan kemampuan mengajar.
Kedua, dominasi faktor kepentingan yang melebihi tujuan utama dalam lingkungan ekonomi-politik guru. Dengan kata lain, penuntasan kurikulum kerap terjadi tanpa ada evaluasi capaian siswa.
Ketiga, perspesi soal senioritas di lingkungan guru. Bahwa, semakin tua usia guru, dianggap semakin senior. Hal ini membuat penilaian kualitas guru kerap dikesampingkan.
“Kementerian harus memberikan dorongan kepada guru agar mengajar sesuai kompetensi yang utama dan memberi feedback sehingga ada interaksi siswa dan guru,” kata Doni.
Pandangan Miring Belajar Daring
Kendala selanjutnya, adalah pandangan masyarakat yang masih pesimis terhadap pembelajaran daring. Riset bertajuk The Readiness of Indonesian toward MOOC (massively Open Online Courses) dari UMN pada 2018 tersebut menyebut mayoritas masyarakat belum siap melakukan pembelajaran daring.
Dalam riset tersebut dikatakan, masyarakat menilai kelas daring tak diperhitungkan pemberi kerja. Sehingga, kelas-kelas daring yang disediakan universitas, komunitas, perusahaan, hingga konsorsium sepi peminat. Sebaliknya, mereka menganggap pembelajaran tatap muka sebagai solusi tunggal.
Selain itu, Doni menilai regulasi PJJ masih belum mapan. Pada Perturan Pasal 6 ayat 1 Menteri Nomor 109 tahun 2013 tentang PJJ, dikatakan metode ini masih sama dengan pembelajaran tatap muka.
“Artinya, belum ada diversifikasi prinsip desain intruksional dalam pengembangan pembalajaran jarak jauh untuk pendidikan formal, non-formal, atau informal,” kata Doni.
Penyumbang Bahan: Muhamad Arfan Septiawan (Magang)