Angka kematian akibat Covid-19 di Indonesia terus meningkat. Hingga Rabu (23/9), korban jiwa akibat virus corona mencapai 9.977 orang. Dari jumlah itu, hampir sepertiganya berasal dari Jawa Timur.
Angka kematian akibat Covid-19 di Jawa Timur mencapai 3.035 jiwa. Jika dibandingkan dengan jumlah kasus positif di Jawa Timur yang sebanyak 41.755, maka rasio kematiannya mencapai 7,26%.
Sebagai perbandingan, di DKI Jakarta, jumlah kasus positif Covid-19 mencapai 65.587, namun jumlah kematiannya sebanyak 1.628. Artinya, rasio angka kematian akibat Covid-19 di DKI Jakarta adalah 2,48%.
Bahkan pada lingkup lebih kecil, angka kematian di Surabaya yang merupakan Ibu Kota Jawa Timur merupakan yang tertinggi di Indonesia. Berikut grafiknya dalam Databoks:
Di tengah kondisi ini, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa kemudian menyulut polemik. Ia disebut telah mengusulkan perubahan definisi angka kematian akibat Covid-9 kepada Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
“Saya ingin Kemenkes memberikan acuan baku mengenai format penghitungan angka kematian, apakah dihitung karena Covid atau kematian dengan Covid, karena ini sangat berpengaruh dengan keberhasilan pengendalian kasus Covid,” ujar Khofifah dalam rapat virtual pengendalian Covid 19 yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Pernyataan itu dikutip dari laman resmi maritim.go.id, Kamis (17/9) lalu.
Menilik dari pernyataan tersebut, Khofifah ingin membedakan angka kematian “karena Covid”, yakni jika korban tidak memiliki penyakit penyerta. Sedangkan kategori “kematian dengan Covid” jika korban memiliki penyakit penyerta atau komorbid.
Sadar pernyataannya menimbulkan polemik, Khofifah kemudian memberikan klarifikasi. “Bagi saya positive thinking saja. Berita ini perlu saya klarifikasi agar tidak menjadi bola liar dan digoreng dadakan seperti tahu bulat. Pemprov Jatim tidak pernah mengirimkan surat apapun kepada Kementerian Kesehatan RI untuk meredefinisikan kematian Covid-19 ataupun data terkait,” kata Khofifah melalui Twitter, Selasa (22/9).
Ia menambahkan, “Sebaliknya, Jatim mendorong kejujuran dan keterbukaan pencatatan dan pelaporan semua informasi terkait Covid-19 yang lebih rinci dan detail berdasarkan pedoman WHO yang berlaku agar pandemi ini lekas berakhir.”
Usulan Khofifah tampaknya diakomodir oleh Kementerian Kesehatan. Hal itu disampaikan Staf Ahli Menteri Kesehatan bidang Ekonomi Kesehatan, M. Subuh, saat melakukan kunjungan kerja ke Jawa Timur, Kamis (17/9) lalu.
Dalam kesempatan itu, Subuh awalnya menyampaikan soal kolaborasi pusat dan daerah dalam penurunan angka penularan, penurunan angka kematian dan meningkatkan angka kesembuhan di wilayah Jawa Timur.
Khusus poin penurunan angka kematian, Subuh menyatakan perlu ada intervensi soal definisi operasional kematian pasien Covid-19.
"Penurunan angka kematian harus kita intervensi dengan membuat definisi operasional dengan benar, meninggal karena Covid-19 atau karena adanya penyakit penyerta sesuai dengan panduan dari WHO," kata dia seperti dikutip dari laman kemenkes.go.id, Senin (21/9).
Tanggapan Satgas
Satgas Penanganan Covid-19 menanggapi usulan Gubernur Khofifah Indar Parawansa agar Kementerian Kesehatan mempertegas definisi kematian pasien akibat Covid-19. Usulan itu adalah untuk memisahkan jumlah pasien meninggal komorbid dari total kematian pasien Covid-19.
Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Prof Wiku Adisasmito menjelaskan, jika merujuk pada acuan standar World Health Organization (WHO), kematian yang terhitung adalah kematian yang diakibatkan oleh perjalanan penyakit yang sesuai pada kasus probable atau konfirmasi Covid-19. Kecuali, ada penyebab alternatif lain yang jelas tidak berhubungan dengan Covid-19 seperti kecelakaan.
"Terkait wacana definisi kematian Covid-19, pemerintah Indonesia merujuk pada acuan dari WHO. Dan itu dituangkan dalam KMK HK.01.07/MENKES/413/2020," kata Wiku saat menanggapi pertanyaan media dalam jumpa pers di Istana Kepresidenan, Selasa (22/9).
Ia menjelaskan pada prinsipnya kasus kematian yang dilaporkan adalah kasus konfirmasi maupun probable Covid-19. Dan kasus probable, itu adalah suspek dengan infeksi saluran pernapasan berat, ARDS atau gangguan pernapasan berat dengan gambaran klinis yang meyakinkan Covid-19 dan belum ada hasil laboratorium RT-PCR.
Kondisi ini juga dilakukan pada beberapa negara seperti Amerika Serikat juga menghitung kematiannya berdasarkan probable dan suspek yang dibedakan dalam kategori pencatatannya. Contoh lain, Inggris hanya memasukkan pasien yang terbukti positif Covid-19 melalui tes dalam pencatatan kematian.
Karenanya, catatan angka kematian rata-rata dunia adalah gabungan dari berbagai pencatatan yang ada di dunia, yang juga ada variasinya.
Bagaimanapun, sejauh ini pemerintah belum mengubah definisi angka kematian akibat Covid-19. "Pada saat ini pemerintah Indonesia belum ada wacana untuk melakukan perubahan seperti yang diusulkan Gubernur Jawa Timur," kata Wiku.