Omnibus law Undang-undang Cipta Kerja yang telah disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Senin (5/10) masih terus menjadi polemik terutama di kalangan buruh dan pekerja. Salah satu yang menjadi sorotan adalah beberapa pasal yang masuk dalam Bab Ketenagakerjaan.
Dalam bab ini sejumlah perubahan terjadi pada sejumlah pasal yang mengatur tentang Tenaga Kerja Asing (TKA), pegawai kontrak, hingga pekerja alih daya alias outsourcing. Beberapa hal yang diubah adalah relaksasi izin pekerja asing hingga masa kerja buruh kontrak.
Dalam Pasal 42 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, setiap pemberi kerja yang akan menggunakan TKA harus memiliki izin tertulis yang diberikan Menteri. Sedangkan Pasal 43 mengatur empat persyaratan yang harus dipenuhi pemberi kerja untuk mendapatkan lampu hijau mempekerjakan TKA.
Namun dalam UU Cipta Kerja, ketentuan Pasal 43 UU Ketenagakerjaan dihapus seluruhnya. Pemberi kerja hanya perlu memiliki rencana penggunaan tenaga kerja asing yang disahkan oleh Pemerintah Pusat.
Rencana tersebut bahkan tak berlaku bagi beberapa jenis pekerjaan seperti kegiatan vokasi, usaha rintisan (start up), kegiatan produksi yang berhenti karena keadaan darurat, penelitian, dan kunjungan bisnis. Selain itu aturan ini tak berlaku bagi TKA yang akan menduduki posisi direksi atau komisaris dengan kepemilikan saham tertentu sesuai ketentuan perundangan.
Perubahan tak hanya menyangkut relaksasi penggunaan TKA. Dalam Dalam Pasal 45 UU Cipta Kerja, pemerintah mewajibkan pekerja asing wajib pulang ke negara asalnya setelah hubungan kerja berakhir.
Perbedaan aturan bagi perjanjian kerja untuk waktu tertentu (PKWT) alias pekerja kontrak juga terlihat. Di Pasal 58, masa kerja PKWT tetap dihitung walaupun ada persyaratan masa percobaan kerja kepada mereka. Sedangkan dalam UU Ketenagakerjaan, hal ini belum diatur.
Namun, detail durasi pekerjaan singkat yang dikerjakan pegawai kontrak juga hilang dalam UU Cipta Kerja. Padahal dalam UU Ketenagakerjaan, perjanjian kerja hanya dibuat untuk pekerjaan paling lama tiga tahun.
Urusan kompensasi kepada buruh kontrak juga diatur dalam Pasal 61 dan 61A UU Cipta Kerja. Pemerintah mewajibkan pengusaha memberikan uang kompensasi kepada buruh PKWT sesuai masa kerja di perusahaan. Sedangkan besaran kompensasi akan diatur lebih detail di Peraturan Pemerintah (PP).
Sedangkan perubahan ketentuan juga terjadi pada pekerja alih daya. Dalam UU Ketenagakerjaan, syarat pekerja alih daya adalah bekerja pada posisi yang terpisah dari kegiatan utama, dilakukan dengan perintah langsung dan tak langsung dari pemberi kerja, kegiatan penunjang perusahaan, dan tidak menghambat proses produksi. Namun ketentuan batasan tersebut dihapus dalam UU Cipta Kerja.
Padahal dalam UU Ketenagakerjaan, jika buruh outsourcing mengerjakan pekerjaan di luar keempat syarat tersebut, maka statusnya harus berubah jadi pekerja kontrak atau tetap. Akan tetapi perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul tetap menjadi kewajiban penyedia jasa outsourcing.