Menanti PP Sebagai Solusi Polemik Ketenagakerjaan UU Cipta Kerja

Adrian Hillman/123rf
Pemerintah sedang mengatur aturan teknis UU Cipta Kerja.
15/10/2020, 06.00 WIB

Pengesahan Undang-undang Cipta Kerja yang kontroversial pada pekan lalu tak membuat Pemerintah injak rem. Mereka sedang merumuskan Peraturan Pemerintah sebagai detail aturan turunan UU sapu jagat itu.

Pada klaster ketenagakerjaan, ada tiga rancangan PP yang dipersiapkan, yaitu Pelaksanaan Ketenagakerjaan, Pengupahan, dan Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan.

Dalam proses penyusunannya, pemerintah akan membahas RPP bersama serikat pekerja, pengusaha, serta akademisi. "Sebagai prinsip transparansi dan keterbukaaan dalam penyusunan RPP ini, pemerintah sangat terbuka," kata Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah dalam sebuah webinar, Selasa (13/10).

Ini lantaran aturan turunan ini ditunggu oleh pemangku kepentingan seperti pengusaha dan pekerja. Bahkan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD saat pertemuan dengan buruh dari Jawa Timur, Rabu (14/10) akan mempertimbangkan masukan serikat pekerja masuk ke dalam PP.

Meski demikian, Kemenaker belum menjelaskan secara detail apa saja kisi-kisi aturan tersebut. “Sementara detailnya belum bisa saya jawab karena sedang digodok. Mohon tunggu ya,” kata Sekretaris Jenderal Kemenaker Anwar Sanusi dalam pesan singkatnya, Rabu (14/10).

Berdasarkan draf UU Cipta Kerja yang berisi 812 halaman, ada sejumlah poin yang berpotensi diatur dengan RPP Ketenagakerjaan. Salah satunya ialah ketentuan mengenai tenaga kerja asing yang dapat kerja di Tanah Air.

Dalam Pasal 42 hanya menyebutkan, tenaga kerja asing yang dapat dipekerjakan hanya untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu. Namun, UU Cipta Kerja belum memaparkan ketentuan jabatan dan waktu tertentu yang dimaksud.  Ketentuan lebih detail akan diatur dengan PP.

Selain itu, ketentuan yang paling disoroti buruh ialah mengenai perjanjian kerja untuk waktu tertentu (PKWT). Pasal 56 aturan sapu jagat tersebut menyebutkan, perjanjian kerja untuk waktu tertentu didasarkan pada jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan.

Kemudian, Pasal 59 menyebutkan PKWT diatur untuk pekerjaan yang diperkirakan tak memakan waktu lama. Sedangkan ketentuan jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan, jangka waktu, dan durasi perpanjangan PKWT akan diatur dengan PP.

Ini lantaran dalam Pasal 59 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, masa kontrak pekerja paling lama dua tahun dan hanya boleh diperpanjang satu kali selama satu tahun. Lebih lanjut, PP juga akan memerinci aturan uang kompensasi yang diberikan pengusaha kepada pekerja PKWT yang telah berakhir.

Berikutnya, ketentuan yang bakal tertuang dalam PP ialah tanggung jawab perusahaan alih daya (outsourcing) terhadap perlindungan pekerja atau buruh serta perizinan berusaha bagi perusahaan alih daya. 

Di luar itu, UU Cipta Kerja belum memerinci aturan waktu kerja bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu. "Ketentuan lebih lanjut mengenai waktu kerja pada sektor usaha atau pekerjaan tertentu  diatur dengan PP,” demikian bunyi

Dalam RPP Pengupahan, ada sejumlah ketentuan yang perlu diatur rinciannya dengan PP. Salah satunya, ketentuan lebih lanjut mengenai waktu kerja lembur dan upah kerja lembur.

Selain upah lembur, PP juga akan mengatur ketentuan pengupahan seperti upah minimum, struktur dan skala upah, upah kerja lembur, upah tidak masuk kerja, bentuk dan cara pembayaran upah, hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah, dan upah sebagai dasar perhitungan atau pembayaran hak dan kewajiban lainnya.

Selain hal tersebut, PP juga akan mengatur pengupahan berdasarkan satuan waktu dan satuan hasil. Struktur upah mengacu durasi waktu ini menjadi salah satu hal yang dituntut kejelasannya oleh pekerja.

“Ini maksudnya mengacu pada buruh sektor online (digital) atau seperti apa,” kata Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Elly Rosita Silaban kepada Katadata.co.id, Rabu (14/10). 

Tata cara penetapan serta formula upah minimum juga diatur dengan PP. Adapun, upah minimum tersebut ditetapkan dengan syarat pertumbuhan ekonomi daerah dan inflasi kabupaten/kota. 

Dalam UU Cipta Kerja ini, ada satu poin baru yang sebelumnya tidak ada dalam UU 13/2003, yaitu pengaturan upah bagi UMKM. Akan tetapi, ketentuan lebih lanjut terkait upah pekerja usaha kecil ini akan diatur dalam PP.

Selanjutnya, PP juga akan memuat ketentuan struktur dan skala upah di perusahaan. Sebab, pengusaha wajib menyusun struktur dan skala upah dengan memerhatikan kemampuan dan produktivitas perusahaan.

Selama ini, pemerintah membentuk dewan pengupahan untuk merumuskan kebijakan pengupahan. UU Cipta Kerja menyebutkan, dewan pengupahan terdiri dari unsur pemerintah, pengusaha, buruh, pakar, dan akademisi. Sementara, ketentuan lebih lanjut akan diatur dengan PP.

Hal-hal lainnya yang akan diatur dengan PP ialah syarat dan tata cara pemutusan hubungan kerja (PHK), pemberian uang pesangon hingga uang penggantian hak, serta sanksi adminsitratif.

Khusus RPP Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), ketentuan yang bakal diatur mencakup tata cara penyelenggaran, manfaat jaminan bagi peserta, serta pendanaan JKP.

Tak Disambut Buruh

Meski demikian, ajakan ini tak sepenuhnya disambut baik, terutama oleh kalangan buruh. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengklaim 32 federasi pekerja tak akan ikut dalam aturan turunan tersebut.

“Karena kami sudah menolak UU Cipta Kerja, khususnya klaster ketenagakerjaan,” kata Iqbal dalam pesan singkatnya, Rabu (14/10).

Sedangkan KSBSI masih akan menggelar koordinasi internal menyikapi ajakan ini. Apalagi menurut Elly, kebanyakan serikat pekerja mengambil posisi berseberangan terhadap RPP. “Sepertinya akan banyak penolakan dari serikat buruh untuk ikut dalam RPP,” kata Elly.

Meski demikian Elly berharap pembahasan RPP harus menyentuh poin detail. Selain ketentuan upah berdasarkan waktu, ia menyoroti Pasal 88C yang berbunyi Gubernur dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kotamadya. “Itu berarti bisa juga tidak dapat ditetapkan, jadi tidak mengikat,” katanya.

Soal pesangon, Elly menginginkan uang tersebut tetap diberikan dua kali gaji sesuai Pasal 166 UU Ketenagakerjaan. Sedangkan dalam UU Cipta Kerja, Pasal tersebut telah dihapus. “Penggantian hak itu saya soroti banyak poin-poinnya,” ujar dia.

Sedangkan opsi judicial review alias peninjauan kembali  UU Cipta Kerja tetap menjadi opsi utama buruh. Elly mengatakan serikat pekerja sedang menunggu penomoran UU ini untuk segera diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK).  

Sedangkan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mengaku belum memberikan usulan dalam RPP. Namun mereka berharap tidak ada lagi perubahan substansi yang jauh dari UU Cipta Kerja.

“Karena ini hanya penjabaran UU, bukan negosiasi lagi,” kata Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Ketenagakerjaan dan Hubungan Industrial Anton J. Supit.

Anton mengatakan dari sisi pengusaha, mereka tak akan menetapkan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dalam rentang waktu panjang. Soal formulasi upah minimum, pengusaha juga akan tetap mengacu pada inflasi. “Bahkan jika ekonomi tumbuh negatif, tidak mungkin upah dipotong,” kata Anton.

Dia juga berharap tak ada kegaduhan soal formulasi pesangon lantaran mayoritas pengusaha tak akan melakukan PHK jika kondisi ekonomi baik. “Jadi jangan apriori, belum ketemu (kesepakatan) sudah curiga,” kata Anton.