Presiden Joko Widodo telah menandatangani Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyoroti sejumlah perubahan aturan persaingan usaha tidak sehat dalam omnibus law tersebut.

Di antara perubahan aturan tersebut adalah mengenai penghapusan jangka waktu penanganan upaya keberatan oleh Pengadilan Niaga dan Mahkamah Agung (MA). Anggota KPPU dan Juru Bicara Komisi Guntur Saragih mengatakan, penghapusan pembacaan putusan keberatan dan kasasi dapat menimbulkan ketidakpastian.

Tanpa batas waktu, penanganan sengketa bisa berlarut-larut. "Ini dikhawatirkan berpotensi menimbulkan ketidakpastian bagi pelaku usaha atas penyelesaian upaya keberatan yang dilakukannya," kata Guntur dalam konferensi pers secara virtual, Rabu (4/11).

Sebelumnya, Pasal 45 ayat (4) dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menyebutkan MA harus memberikan putusan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan kasasi diterima.

Sementara, Pasal 45 ayat (3) UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja berbunyi, ketentuan mengenai tata cara pemeriksaan di Pengadilan Niaga dan MA Republik Indonesia dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Meski begitu, Guntur memperkirakan batasan jangka waktu pembacaan putusan akan diatur oleh MA. Adapun, upaya keberatan saat ini masih menggunakan Peraturan Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan terhadap Putusan KPPU. "Nantinya, KPPU akan mengikuti bagaimana adaptasi yg akan dilakukan oleh MA," ujar dia.

Selain itu, KPPU juga menyebutkan ada perubahan lainnya dalam UU Cipta Kerja, yaitu perubahan upaya keberatan dari Pengadilan Negeri ke Pengadilan Niaga. Padahal, jumlah Pengadilan Niaga di Indonesia hanya sedikit.

KPPU mengatakan, jumlahnya hanya ada lima unit. "Pengadilan Niaga hanya ada di kota-kota besar. Itu memang menjadi tantangan," katanya.

INDONESIA-ECONOMY/PROTESTS (ANTARA FOTO/REUTERS/Ajeng Dinar Ulfiana/FOC/dj)

Dampaknya, pemindahan ini dapat menimbulkan biaya tambahan bagi pelaku usaha yang ingin melakukan upaya keberatan lantaran keterbatasan jumlah Pengadilan Niaga di Tanah Air. KPPU pun berharap, hal ini dapat diatasi dengan penambahan jumlah Pengadilan Niaga maupun pemberlakuan sidang daring.

Meski begitu, Guntur mengakui sidang daring tidak akan sama dengan sidang secara luring. Sebab, pembuktian dapat dilakukan lebih nyata bila sidang dilakukan secara tatap muka langsung.

Selain itu, UU Cipta Kerja juga menghapus batasan denda maksimal. KPPU pun berharap KPPU, rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) dapat mengatur sanksi maupun denda yang akan dikenakan pada pelanggar hukum persaingan. Pengaturan ini diharapkan dapat mempertimbangkan dampak persaingan dan kerugian yang dialami oleh masyarakat maupun dunia usaha.

Terakhir, KPPU juga menyoroti penghapusan ancaman pidana bagi pelanggaran perjanjian atau perbuatan atau penyalahgunaan posisi dominan dalam UU sapu jagat tersebut. Meski dihapuskan, KPPU memastikan ancaman pidana tetap dapat dikenakan atas pelaku usaha yang menolak diperiksa, menolak memberikan informasi yang diperlukan dalam penyelidikan dan atau pemeriksaan, atau menghambat proses penyelidikan dan atau pemeriksaan, serta bagi pelaku yang menolak melaksanakan Putusan KPPU.

Bagaimanapun, isu persaingan usaha dalam UU Cipta Kerja masih kurang mendapat sorotan. Berikut Databoks mengenai isu-isu yang paling disorot dalam omnibus law:

Reporter: Rizky Alika