Pandemi Corona Hambat Capaian Target Hutan Sosial

Adi Maulana Ibrahim |Katadata
Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK, Bambang Supriyanto memaparkan materi dalam webinar Katadata Regional Summit 2020 bertajuk “Perhutanan Sosial untuk Kesejahteraan Rakyat, Rabu (4/11/2020).
Editor: Ekarina
5/11/2020, 11.03 WIB

Pandemi corona menghambat pencapaian target perhutanan sosial. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memperkirakan, realisasi penambahan  program perhutanan sosial hingga akhir tahun hanya  600 ribu hektare sehingga totalnya menjadi 4,4 juta juta hektare.

Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan 2018, yang mana realisasi perhutanan sosial mencapai 1,3 juta hektare dan 1,6 juta hektare di 2019.

"Tahun ini memang ada penurunan 1 juta hektare dibandingkan tahun sebelumnya karena pandemi menghambat proses perizinan," kata Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK, Bambang Supriyanto dalam webinar Katadata Regional Summit (4/11).

Perhutanan Sosial merupakan sistem pengelolaan hutan lestari untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan. Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor 83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial, terdapat lima skema perhutanan sosial yaitu Hutan Adat, Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, dan Kemitraan Kehutanan.

Pemerintah menargetkan program perhutanan sosial bisa mencapai 12,7 juta hektare pada 2024. Oleh karena itu, pihaknya akan melakukan sejumlah langkah percepatan untuk mencapai target di tengah hambatan krisis kesehatan saat ini. 

Pertama, melalui inovasi kebijakan melalui Perdirjen Perhutanan Nomor 13 Tahun 2020 tanggal 8 Oktober. Aturan ini memungkinkan dilakukannya verifikasi subjek penerima dan objek perhutanan nasional dilakukan secara virtual  dari yang semula berbasis lapangan.

Berikutnya, untuk percepatan distribusi akses juga akan dibuat roadmap setiap tahun. Lalu bekerja sama dengan pemerintah dan organisasi masyarakat sipil (civil society organization/CSO).

Strategi lain menurut Bambang juga akan dilakukukan guna memastikan program perhutanan sosial bisa mencapai target dan memberi manfaat dari hulu hingga hilir. 

Capaian Perhutanan Sosial (Katadata)

Berdasarkan catatan KHLK, saat ini jumlah penduduk miskin di area hutan sebanyak 10,2 juta atau 36,73%  dari total penduduk miskin di Indonesia. Kondisi masyarakat sekitar hutan juga mengalami ketimpangan dalam akses pemanfatan, hutan dimana 96% dikelola swasta dan hanya 4% masyarakat.

Selain itu, tingginya kriminalisasi, konflik teritorial menyebabkan masyarakat mencari kerja di kota (urbanisasi) juga menjadi persoalan lain dialami masyarakat sekitar kawasan perhutanan. Oleh karena itu, program hutan sosial diharapkan bisa memberi solusi pemerataan ekonomi dan mengatasi ketimpangan.

Anggota Tim Penggerak Percepatan Program Perhutanan Sosial Swary Utami Dewi mengungkapkan berbagai kendala yang dihadapi dalam mencapai perhutanan sosial. Misalnya, minimnya akses modal maupun pasar, rendahnya kapasitas SDM dan lembaga serta minimnya pendampingan.

“Bahkan ada di beberapa daerah, ada memegang 5 ijin lokasi perhutanan tanpa ada yang mendampingi. Padahal, ini juga menjadi masalah dalam pengembangan hutan sosial," katanya.

Jika hal ini diperbaiki, diharapkan dapat meningkatkan capaian perhutanan sosial, sehingga dapat membantu pengelolaan hutan dan pemetaan hutan akan lebih terarah. Pendampingan dan penguatan kapasitas di kelompok masyarakat sangat dibutuhkan.

Program kerhutanan sosial diharapkan dapat membawa  beragam keuntungan bagi masyarakat, seperti terciptanya  pusat pertumbuhan ekonomi, terbangunnya jejaring pemasaran komoditas serta terciptanya kelompok perhutanan sosial yang mandiri.

Survei Katadata Insight Center (KIC) terhadap 210 orang ketua dan pengurus dari 103 kelompok usaha perhutanan sosial melalui telepon menunjukkan, perhutanan sosial berdampak positif bagi masyarakat dan lingkungan. 

Sekitar 98% responden mengatakan pendapatannya meningkat sejak bergabung dalam kelompok usaha perhutanan sosial dan hanya 1,6% yang mengatakan tidak.

Kemudian sekitar 46% responden menjawab pendapatannya naik dua kali lipat, 25,8% menjawab pendapatannya naik tak samapi 2 kali lipat dan 25,8% lain menjawab pendapatan mereka naik 2-3 kali lipat.

"Ada pula 2,4% responden yang menjawab pendapatannya meningkat lebih dari 3 kali lipat," kata Direktur Riset Katadata Insight Center, Mulya Amri dalam paparannya.

Peningkatan pendapatan tersebut berasal dari komoditas perhutanan bukan kayu. Lalu dari sisi kondisi lingkungan, 87,6% responden menjawab kualitas tanah membaik sejak status perhutanan sosial diperoleh.

Berikutnya, 86,2% responden menjawab hutan yang semula hampir gundul mulai menghijau, 66,2% menjawab kualitas mata air membaik dan mulai muncul dan 20% menjawab beragam satwa liar yang semula hilang kini kembali muncul.

Reporter: Annisa Rizky Fadila