Studi di Inggris menemukan 20% pasien Covid-19 yang telah sembuh berisiko mengalami gangguan mental. Gejala yang muncul biasanya berupa kecemasan, depresi, dan insomnia, hingga demensia atau kondisi gangguan otak.
Riset yang dilaksanakan oleh Universitas Oxford itu juga menyatakan gangguan mental dialami dalam 90 hari. "Orang khawatir pasien Covid-19 bakal memiliki risiko yang lebih besar terhadap kesehatan mental, dan temuan kami menunjukkan kemungkinan itu," ujar Profesor Psikiatri Oxford Paul Harrison seperti dikutip dari Reuters pada Rabu (11/11).
Harrison mengatakan dokter dan peneliti di seluruh dunia sangat perlu menyelidiki penyebab dan mengidentifikasi perawatan baru untuk penyakit mental yang dialami pasien Covid-19. Fasilitas kesehatan juga harus siap memberikan perawatan.
Pasalnya, ada kemungkinan gangguan mental pada pasien Covid-19 terjadi di seluruh dunia. Apalagi adanya penemuan yang sama di Amerika Serikat (AS).
Studi yang diterbitkan dalam jurnal The Lancet Psychiatry menyebutkan bahwa satu dari lima orang yang sembuh memiliki gejala kecemasan, depresi, atau insomnia untuk pertama kalinya. Hal itu terjadi dalam tiga bulan setelah pasien dinyatakan positif Covid-19.
Studi itu juga menemukan ada potensi gangguan mental muncul dua kali lipat lebih tinggi pada pasien Covid-19 dibandingkan kelompok pasien lain pada periode yang sama. Studi tersebut berdasarkan catatan kesehatan elektronik 69 juta orang di Amerika Serikat (AS), termasuk 62.000 kasus Covid-19.
Studi tersebut juga menyatakan orang yang telah mengalami penyakit mental memiliki 65% kemungkinan terinfeksi virus corona dibandingkan orang tanpa gangguan mental. Spesialis kesehatan mental yang tak terlibat dengan penelitian menyatakan temuan tersebut menambah bukti bahwa Covid-19 dapat memengaruhi otak dan pikiran sehingga meningkatkan risiko berbagai penyakit kejiwaan.
"Hal ini kemungkinan disebabkan kombinasi stres psikologis yang terkait dengan pandemi, dan efek fisik dari penyakit tersebut," kata Konsultan Psikiater University College London Michael Bloomfield.
Profesor Psikiatri Regius di Kings's College London Simon Wessely juga menyatakan orang yang memiliki gangguan kesehatan mental berisiko lebih tinggi terkena Covid-19. Hal tersebut menggemakan temuan semula pada penyakit menular sebelumnya.
Menurut Wessely, hal itu terjadi karena Covid-19 dapat memengaruhi sistem saraf pusat. Sehingga dapat meningkatkan gangguan mental.
Kepala Eksekutif Badan Amal Kesehatan Mental Inggris SANE, Majorie Wallace, menyatakan penelitian tersebut sejalan dengan pengalamannya selama pandemi. Organisasi tersebut menangani peningkatan jumlah penelepon yang mengalami gangguan mental.
"Hal itu karena masalah kesehatan mental mereka kambuh karena ketakutan dan kecemasan yang tidak tertahankan," ujar Wallace.
Di sisi lain, penyakit Covid-19 sebenarnya dapat dicegah dengan meningkatkan imunitas. Juru Bicara Satgas Covid-19 Reisa Broto Asmoro mengatakan olahraga bersama dengan keluarga sambil tetap menjaga jarak aman di rumah merupakan salah satu cara meningkatkan imunitas.
Hal tersebut dapat menciptakan kebersamaan yang berkualitas sekaligus membantu menurunkan stres. Selain itu, tetap menerapkan 3M, yaitu memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan dengan sabun.
“Pandemi memang masih menghadang, mari kita menjaga kondisi tubuh kita sebaik-baiknya. Pastikan kita tetap produktif tetapi aman dari COVID-19. Tetap disiplin menerapkan 3M, dan praktikan sebagai satu kesatuan, karena 3M itu satu paket," ujar Reisa pada konferensi pers virtual pada Senin (9/11).
Masyarakat dapat mencegah penyebaran virus corona dengan menerapkan 3M, yaitu: memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak sekaligus menjauhi kerumunan. Klik di sini untuk info selengkapnya.
#satgascovid19 #ingatpesanibu #pakaimasker #jagajarak #cucitangan