Pemerintah tengah menggodok aturan turunan Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Salah satu aturan yang tengah dirumuskan ialah Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha di Daerah.
RPP ini telah diunggah dalam laman Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Dari rancangan aturan teknis tersebut, beberapa hal diatur demi kemudahan perizinan berusaha. Salah satunya tentang teknis penyederhanaan syarat bagi kegiatan usaha berisiko rendah dan menengah lewat sejumlah langkah termasuk online single submission (OSS).
Penyederhanaan syarat ini merupakan aturan turunan dari Pasal 7 hingga 10 UU Cipta Kerja. Dalam Pasal 26 dan 27 RPP tersebut, perizinan kegiatan usaha berisiko rendah hanya terdiri dari pemberian Nomor Induk Berusaha (NIB) dan hanya perlu dilakukan dengan mendaftar pada OSS.
Jika pelaku usaha tak lengkap dalam memasukkan data, maka sistem tersebut akan menolak secara otomatis. “Setelah mendapatkan NIB, pelaku usaha wajib menerapkan standar kesehatan, keselamatan, keamanan dan lingkungan,” bunyi Pasal 26 RPP tersebut seperti ditulis, Rabu (11/11).
UU Cipta Kerja juga telah membagi kegiatan berusaha berisiko menengah menjadi menengah rendah dan tinggi. Dalam Pasal 28 – 29 RPP, syarat perizinan usaha risiko menengah rendah adalah NIB yang diurus lewat OSS dan sertifikat standar usaha tersebut.
Dalam Pasal 30 sampai 31, syarat izin usaha risiko menenagh tinggi adalah NIB dan sertifikat standar baik itu untuk tahap operasional dan komersial. Sedangkan dalam Pasal 32, rezim perizinan hanya diberlakukan bagi usaha berisiko tinggi. Perizinan yang dimaksud adalah persetujuan lingkungan, pemanfaatan ruang, dan persetujuan bangunan gedung.
Selain itu RPP ini juga mewajibkan kepala daerah menggunakan OSS yang dikelola pemerintah pusat. Tak hanya itu, kepala daerah juga bisa memberikan tunjangan tambahan penghasilan kepada pegawai di unit Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP).
“Sesuai dengan kemampuan keuangan daerah,” demikian bunyi Pasal 21 RPP tersebut.
RPP ini juga mengancam sanksi kepala daerah yang tidak memberikan pelayanan perizinan sesuai Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK) yang ditetapkan pusat serta tak menggunakan OSS. Sanksinya beragam, mulai dari teguran tertulis hingga pengambilalihan izin usaha oleh pusat.
“Sanksi penundaan penyaluran DAU dan atau DBH dilakukan Menteri yang menyelenggarakan urusan di bidang keuangan,” demikian tertulis dalam Pasal 68 RPP tersebut.
Masukan Pengusaha
Sebelumnya pengusaha pun menyambut baik atas aturan omnibus tersebut. Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S. Lukman secara khusus mengatakan kemudahan investasi dan usaha seperti mendapatkan angin segar.
"Harus dilihat secara umum, apalagi kita bersaing ketat saat ini dengan Vietnam. Oleh karena itu, kita harus lebih mampu menarik investasi dibanding mereka, serta membuka lapangan kerja," katanya kepada katadata.co.id awal Oktober lalu.
Sedangkan pengusaha logistik akan memberi masukan kepada pemerintah agar menyesuaikan ketepata waktu perizinan sesuai standar negara-neagara ASEAN. Ini lantaran dalam dunia logitik, hal tersebut telah menjadi kesepakatan bersama.
“Tim kami sedang melakukan evaluasi, tapi saya yakin ada masukan,” kata Ketua Umum Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI).
Namun, ia memastikan amdal tetap diperlukan dalam perizinan usaha. Oleh karena itu, perlu kepastian agar izin tersebut dapat diproses dalam waktu yang cepat serta memberikan kepastian bagi pengusaha.
Ia pun menilai, pemerintah telah memberikan standardisasi dalam melakukan pengawasan di bidang lingkungan. Dengan demikian, penyederhanaan aturan itu diperkirakan tidak akan berdampak pada deforestasi lingkungan.
"Siapa sih yang akan merusak selama proses amdal baik dan benar? Kami tahu lah posisi usaha tambang. Lalu logistik untuk gudang, ada pengaturan limbah," ujar dia.
Sedangkan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) hampir selesai menggodok Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) sebagai aturan turunan dari klaster ketenagakerjaan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja. Salah satu yang menjadi poin aturan adalah batas waktu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) maksimal lima tahun.
Dengan demikian, durasi PKWT tersebut naik dari aturan sebelumnya yang menetapkan masa kontrak pekerja paling lama tiga tahun. Dalam Undang-undang (UU) Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan, pekerja kontrak dalam jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 kali untuk jangka waktu paling lama 1 tahun.
"Akumulatif lima tahun," kata Sekretaris Jenderal Kemenaker Anwar Sanusi, Selasa (10/11).
Sedangkan Presiden Joko Widodo dalam peringatan Hari Ulang Tahun Partai Nasdem, Rabu (12/11) mengatakan kehadiran UU Cipta Kerja demi mempercepat industrialisasi RI. Oleh sebab itu ia meminta masyarakat tak khawatir akan aturan sapu jagat ini.
"Untuk mempercepat industrialisasi dan memperkuat sektor strategis terutama pangan, kesehatan dan energi," kata Jokowi.