Majelis Ulama Indonesia (MUI) baru saja memilih Ketua Umum dan daftar pengurus baru periode 2020-2025. Meski demikian, pada periode baru ini tidak ada nama Din Syamsudin dalam daftar pejabatmaupun pengurus MUI.
Padahal sebelumnya, Din Syamsudin pernah menjabat sebagai Dewan Pertimbangan MUI periode 2015-2020 bersama dengan Ma'ruf Amin yang kala itu menjabat ketua umum dan Anwar Abbas sebagai sekretaris jenderal.
Din juga tercatat pernah menjabat Wakil Ketua MUI pada periode 2005-2010 dan Ketua Umum MUI pada 2014-2015.
Selain Din, nama ulama lain juga tak lagi masuk daftar petinggi MUI, yakni Bachtiar Nasir. Sebelumnya, Bachtiar menjabat Wakil Sekretaris Dewan Pertimbangan MUI periode 2015-2020.
Demikian pula Tengku Zulkarnain yang sempat menjabat sebagai Wakil Sekjen pada 2015-2020 dan Yusuf Muhammad Martak yang sebelumnya menjabat sebagai Bendahara MUI 2015-2020. Sejumlah nama itu disebut kerap berafiliasi dengan aksi 212.
Din menyatakan alasan dirinya tak masuk ke dalam kepengurusan baru MUI lantaran sudah tidak bersedia.
"Seandainya Tim Formatur memasukkan pun, saya tidak bersedia. Sebelum Munas MUI, saya sudah sampaikan dalam Rapat Pleno terakhir Dewan Pertimbangan MUI bahwa saya ingin berhenti dari keaktifan," kata Din Syamsudin dikutip dari keterangan resmi, Sabtu (28/11).
Dia juga mangatakan sudah terlalu lama terlibat di MUI yaitu sejak 1995 atau sudah sekitar 25 tahun. Oleh karena itu, dia pun meminta maaf kepada anggota Dewan Pertimbangan (Watim) MUI yang mendukung dirinya agar tetap memimpin lembaga tersebut.
Dia juga mengakui sengaja tidak ikut menghadiri Munas MUI dan mewakilkan kepada Wakil Ketua Wantim MUI, Didin Hafiduddin untuk memberi sambutan dan menjadi formatur.
"Saya mendengar dan mengetahui ada pihak yang ingin menjadi Ketua Wantim MUI, dan Pengurus MUI. Saya berhusnuzhon mereka ingin berkhidmat di MUI, maka sebaiknya diberi kesempatan," kata Din.
Dia pun mengungkapkan, untuk mengabdi kepada umat dan bangsa tidak terbatas hanya dalam satu lingkaran organisasi seperti MUI, tapi bisa dilakukan pada berbagai lingkaran keaktifan.
Sehingga, kalaupun tak masuk dalam kepengurusan organisasi jangan dianggap sebagai masalah besar. Begitu juga bila masuk dalam kepengurusan bukan hal istimewa.
Tim formatur Musyawarah Nasional Majelis Ulama Indonesia ke-10 menunjuk KH Miftachul Akhyar menjadi ketua umum MUI periode 2020-2025 menggantikan KH Ma’ruf Amin yang kini menjabat sebagai Wakil Presiden RI.
Dalam pertemuan tertutup yang digelar tim formatur di Jakarta, Jumat (27/11) juga menunjuk sejumlah nama untuk mengisi kepengurusan MUI. Amirsyah Tambunan (mewakili Muhammadiyah) ditunjuk sebagai sekretaris jenderal MUI menggantikan Anwar Abbas (Muhammadiyah) yang kini menjadi wakil ketua umum MUI.
Untuk posisi wakil ketua umum MUI kini diisi tiga orang di mana pada periode sebelumnya dua nama mewakili Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). Tiga nama waketum baru itu di antaranya KH Marsyudi Suhud (NU), Anwar Abbas (Muhammadiyah) dan Basri Bermanda (Persatuan Tarbiyah Islamiyah).
Adapun KH Ma’ruf ditunjuk menjadi ketua Dewan Pertimbangan MUI mengganti Din Syamsuddin. Selain menetapkan formasi kepengurusan baru, Munas ke-10 MUI menghasilkan empat fatwa soal haji dan satu fatwa terkait human deploit cell.
Sementara untuk rekomendasi, Munas X MUI mengeluarkan Taujihat Jakarta merespons berbagai problematika dan dinamika mutakhir di tingkat nasional dan internasional.
Menjaga Netralitas
Dosen Ilmu Politik dan International Studies Universitas Paramadina Ahmad Khoirul Umam menilai pengurus baru Majelis Ulama Indonesia (MUI) harus mampu menjaga netralitas, independensi, dan integritas kelembagaannya.
"Pengurus baru MUI harus mampu menjaga netralitas, independensi, dan integritas kelembagaannya, baik untuk kerja-kerja sosial keumatan di dalam negeri maupun di luar negeri," kata Khoirul Umam yang juga Direktur Eksekutif Romeo Strategic Research & Consulting (RSRC) di Jakarta.
Khoirul mengatakan, menilik kembali rekam jejak lahirnya MUI, organisasi yang dibentuk pada era Orde Baru bertujuan untuk menghadapi kekuatan Islam yang ggap berseberangan dengan pemerintah.
Oleh sebab itu, MUI menurutnya harus mampu merepresentasikan diri sebagai "rumah bersama" bagi seluruh Ormas Islam di Indonesia. MUI harus mampu meeting point seluruh elemen stakeholders umat Islam di Indonesia.
"Jangan sampai ada elemen umat Islam yang merasa tidak terwakili aspirasinya," kata dia.
Kemudian, MUI juga harus menjaga netralitas, independensi, dan integritas lembaganya. Jangan sampai ada pihak-pihak yang memanfaatkan legitimasi sosial-keagamaan MUI untuk kepentingan politik praktis masing-masing.
MUI juga harus mampu mengelola dinamika internalnya dan mampu mengayomi kelompok minoritas dari umat agama lain di Indonesia.
"Tunjukkan Islam rahmatan lil alamin. Netralisir pihak-pihak yang memperuncing perbedaan dan membentur-benturkan kelompok baik di dalam maupun di luar umat Islam," ujarnya.
Berikutnya, MUI juga harus mampu menujukkan transparansi dan akuntabilitasnya sebagai lembaga yang mendapatkan alokasi dana negara dan juga memegang monopoli kewenangan sertifikasi halal.
"Jangan sampai hal itu justru memunculkan problem transparansi yang justru bisa mencoreng integritas kelembagaan MUI," kata dia.
MUI juga harus lebih aktif hadir sebagai representasi umat Islam Indonesia di tingkat dunia. Caranya, melalui kerja dialog antarumat agama maupun memberikan advokasi terhadap kelompok minoritas Islam yang terdiskriminasi di negara-negara lain.
"Berikan pendampingan dan lebih aktif dalam penciptaan perdamaian dunia," ujar dia.