Pemerintah diharapkan untuk memperhitungkan kembali secara lebih jauh rencana penataan ulang bandara internasional yang kemungkinan berujung pada penutupan sejumlah bandara internasional.
Pasalnya, kebijakan itu akan berimbas pada penurunan bisnis daerah destinasi wisata, yang diperkirakan antara 30-40%.
Ketua Asosiasi Travel Agent Indonesia (Astindo) Elly Hutabarat mengatakan penataan ulang bandara internasional akan berdampak sangat besar bagi daerah-daerah yang sudah membuka dan memperbaiki wilayahnya untuk kemajuan sektor pariwisata, seperti Lombok, dan Bandung.
"Saya mengusulkan kepada pemerintah jangan ditutup (bandara internasional) itu," kata Elly.
Elly menambahkan, penutupan bandara internasional itu pun bakal merugikan wisatawan, terutama wisatawan mancanegara (wisman).
Dia memberi contoh, apabila akses penerbangan langsung dari luar negeri ke Bandung melalui Bandara Internasional Husein Sastranegara ditutup, maka wisman akan kerepotan karena harus turun di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, lalu melanjutkan perjalanan darat ke Bandung dengan mobil atau kereta.
“Dari sisi waktu dan biaya, sudah pasti ada penambahan,” ujarnya.
Situasi seperti itu, menurut dia, akan mengancam bisnis daerah karena bisa jadi akan terjadi penurunan jumlah kunjungan wisman.
“Padahal, pertumbuhan wisatawan dari Malaysia dan Singapura di Bandung sangat luar biasa. Jadi, direct flight itu sangat aman dan penting untuk daerah-daerah tujuan wisata seperti Lombok, Belitung, Bandung,” jelas Elly.
Lebih lanjut, Elly melihat Bandara Internasional Lombok mengalami perkembangan yang positif, baik dari sisi penataan bandara maupun kunjungan wisatawan. Bila bandara ini ditutup, maka akan menyulitkan akses wisman ke Lombok.
Oleh sebab itu, Elly pun meminta kepada pemerintah agar rencana penataan ulang itu tidak sampai berujung pada penutupan bandara internasional. Pemerintah harus memperhitungkan betul faktor ekonomi dan perkembangan kepariwisataan setiap daerah.
“Kalau ada pasarnya di situ dan menguntungkan, ya jangan ditutup,” ujarnya.
Elly berharap pemerintah menunda dan mengkaji lagi dampak dari penutupan bandara internasional. “Pemerintah perlu mendengarkan masukan dari industri atau daerah pariwisata yang terkena," dia menegaskan.
Sejauh ini, kata dia, belum ada komunikasi dari pemerintah ke asosiasi terkait wacana penataan ulang bandara ini.
"Beliau-beliau yang di atas juga sedang menunggu bagaimana reaksinya dan itu bagus juga, karena diberikan kesempatan untuk merespons wacana ini," kata dia.
Dihubungi secara terpisah, Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Haryadi Sukamdani mengatakan bahwa wacana penataan ulang bandara internasional merupakan imbas dari pandemi Covid-19. Sehingga, beberapa bandara internasional dialihkan fungsinya hanya sebagai bandara domestik.
Dia menilai, rencana itu hanya bersifat situasional dan bukan kebijakan yang menetap.
"Ketika kondisinya normal maka akan balik lagi statusnya," kata Haryadi.
Haryadi pun menilai apabila rencana menata ulang hingga menutup bandara internaisonal dilaksanakan, hal tersebut tidak akan berdampak signifikan bagi industri. Sebab, kata dia, bandara internasional hanya sebatas nama untuk menunjang penerbangan orang dari dan ke luar negeri.
Menurut Haryadi, hal yang penting adalah volume atau lalu lintas penumpang dari luar negeri di bandara internasional tersebut.
Apabila jumlah penumpang dari luar negeri sangat potensial maka perlu disediakan cabang kantor imigrasi dan bea cukai. Sebaliknya, kalau hanya untuk penerbangan domestik maka tidak dibutuhkan fasilitas tersebut.
Haryadi menjelaskan bahwa Indonesia menerapkan kebijakan Indonesia National Single Window (INSW). Artinya, Indonesia ingin mempermudah ekspor hingga lalu lintas orang dari dan ke luar negeri, hanya melalui satu pintu. Pintu utama untuk masuk ke Indonesia harus melalui jalur internasional seperti Bali, Jakarta, dan Medan.